Lubuk Tupak
Tokoh : Puyang Semudik
Pekatnya nya malam telah berganti. cahaya Fajar membias di kaki langit kokok ayam jantan sudah tak terdengar lagi berkumandang menyambut datangnya pagi. kabut masih enggan berlalu menyelimuti Mayapada. butiran embun bergelayutan di dedaunan dan semak belukar. Jalan Setapak yang berliku belum kering di Serang Hujan semalam hingga dinginnya terasa membalut tubuh yang malas beranjak dari pembaringan.
Dilereng gunung, samar terlihat seorang pemuda yang tengah melakukan gerakan seperti menari. Lentur dan ringan gerak tubuhnya. Gesit dan lincah geraknnya kesana kemari, sehingga sulit untuk dapat diikuti pandangan mata. Seperti sosok itu sedang berlatih ilmu bela diri. Sebab tak jauh dari nya, tampak seorang lelaki tua yang cukup disegani. Ketekunan dan semangatnya berlatih membuat lelaki tua itu sangat menyanyanginya.
saat sinar mentari telah menerangi bumi tampak jelas sosok itu. laki-laki bertubuh kekar dan berotot itu bersimbah keringat. lelaki tua itu tersenyum puas dengan hasil jerih payahnya melatih pemuda ini selama bertahun-tahun tak disangka pemuda ini dengan baik dapat menyerap ilmu yang di ajarkannya.
Mereka bedua duduk berhadapan dengan beralasan tikar dibawah sebatang pohon yang cukup rindang. udara sejuk pagi ini telah memberikan kesegaran bagi mereka. sambil melepas lelah, sang Pemuda menunduk penuh hormat pada lelaki tua yang tak lain adalah gurunya. ia menunggu dengan tunduk dan sabar atas wejangan dan petuah yang diberikan sebagai bekal kehidupannya nanti.
Siapa gerangan pria itu sebenarnya? Pemuda ini bernama Raje Pendite. Ia merupakan putra dari seorang keturunan raja Banten yang bernama Pendite Ali Mukmin. Sejak usia dini, Raje Pendite yang dipercaya oleh Pendite Ali Mukmin pada seorang guru untuk ditempa dan gembleng, guna menghampiri ilmu maupun batin dan juga ilmu kanuraga.
Berkat bakat dan keturunannya, Raje Pendite dapar menguasai apa yang telah diberikan gurunya dengan baik, sehingga kemampuannya sudah tidak diragukan lagi. hari-hari berjalan begitu cepat ilmu, dan pengetahuan yang dimiliki Sang guru telah diwariskan semua pada dirinya. sang guru memberikan semangat dan dorongan pada muridnya agar mau menimba ilmu dan pengetahuan setinggi mungkin sebagai bekal meniti kehidupan ini.
Sang guru berpesan agar sang murid jangn terlalu cepat merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki. Bahkan, bila perlu cari dan kejarlah ilmu dan pengetahuan itu walau sampai ke ujung dunia. Sang guru juga berpesan agar jangan pernah lupa bahwa dimana bumi berpijak disitu langit kita junjung, kesombongan dan keangkuhan niscaya dapat menghancurkan diri sendiri.
Suara jangkrik dan burung hantu pun terdengar bersahutan di gelapnya malam. desir angin membelai rimbunnya pepohonan dan cahaya rembulan bersembunyi di balik awan. di dalam pohon sederhana, duduk Sang Guru bersama muridnya. dengan penuh perhatian, sang murid mendengarkan segala yang diberikan Sang Guru, hingga malam semakin larut dan Hawa dingin Begitu Terasa menyentuh tubuh.
Didalam biliknya Raja Pendite merebahkan diri di atas pembaringan. ia merenungi dan meresapi semua yang telah diberikan Sang Guru untuknya. cahaya Lentera perlahan mulai meredup suasana gelap mulai merebak dan dingin mulai menghampiri dia tertidur lelap.
*****
Beberapa bulan kemudian, tiba saatnya bagi Raje Pendite untuk turun gurung. Meskipun terasa berak baginya untuk pergi meninggalkan sang guru. Ini semua harus dijalani agar dia dapat mengenal dunia luar. Ia bertekad untuk menimba ilmu dan pengetahuan yang lebih banyak lagi.
Berpisah satu kata yang sangat sederhana namun sanggup membuat Sekeping Hati terbalut luka berat Sang Guru melepaskan kepergian sang murid untuk mengarungi samudra kehidupan begitu juga sama rek sampai tak kuasa menahan tetes air mata sang guru tersenyum memberi semangat dan kekuatan, agar sang murid tidak mudah terbuai dengan perasaan.
Akhirnya mereka pun berpisah, senyum dan lambaian tangan sang gruu mengiringi langkah kaki Raje Pendite menuruni jalan setapak di pergunungan itu. Sang Guru tidak beranjak dari tempatnya berdiri sampai sang murid menghilang dari pandangannya, Kemudian untuk terakhir kalinya Raje pendite menoleh ke belakang. dan setelah itu Raje pendite pun mempercepat langkah kakinya. Mungkinkah mereka akan bertemu lagi….? itulah sebuah harapan mereka berdua dan hanya yang maha kuasa mengetahuinya.
Meski kesedihan menggelayuti batinnya wajah Raja Pendite tampak pula berseri-seri selama dalam perjalanan. sebab ada kebahagiaan menanti. tak lama lagi dapat bertemu dengan Ayah Bunda yang telah sekian lama berpisah. Kerinduan hatinya atas perjumpaan itu memberikan semangat yang begitu menggelora, sehingga rasa letih tak dirasakan dan secepatnya dia ingin sampai tujuan.
Sekian lama perjalanan itu telah dilaluinya tanpa mengenal lelah, suatu hari dari kejauhan sudah dapat terlihat tanah kelahirannya didepan mata. Raje Pendite semakin semangat untuk mempercepat langkah kaki nya, agar kerinduan yang selama ini terpendam segera dapat terobati. Dan…. di depan sebuah bangunan cukup besar dengan halaman yang luas, Raja Pendite menghentikan langkah kakinya. dadanya berdetak. Ia juga tertegun melihat tempat yang sudah sekian lama ditinggalkan. “Ayah? Ibu? Desisnya. tak banyak perubahan yang terjadi hampir sama seperti dulu” katanya dalam hati.
Wajah-wajah baru yang tidak begitu dikenalnya terlihat sedang berjaga di depan bangunan utama hanya ada satu atau dua orang saja yang wajahnya Masih dia kenal dan makan di ingatannya Apakah mereka masih dapat mengenal diriku inilah satu tanya yang sempat melintas di benaknya.
Raje Pendite segera bergegas memasuki pekarangan menuju bangunan utama. seulas senyum tersungging di bibirnya membayangkan kebahagiaan berjumpa dengan kedua orang tuanya tentu mereka tidak akan menduga sama sekali sebab ini adalah kejutan yang tak terbayangkan dalam pikiran Raja Pendite.
Sesaat langkah kakinya dihentikan oleh beberapa orang penjaga. Mereka menatap Raje Pendite dengan penuh kecurigaan. Dalam sekejap para penjaga telah mengurung dirinya dengan membentuk lingkaran. Kewaspadaan terlihat jelas pada diri para penjaga. Mendapat perlakuan yang tak diharapkan seperti ini, Raje Pendite terkejut dan tidak menyangka sama sekali.
Ada perasaan kesal dan marah yang sempat membara didalam dadanya namun kemudian dia merenungi semua kejadian ini dia harus bisa menahan diri dan bersabar hati Maka sambil tersenyum ramah Raja memperkenalkan diri ia mengatakan siapa dia sebenarnya para penjaga tidak cepat percaya begitu saja dan menerima pengakuannya suasana cukup pemanasan itu tetapi Rajat dapat meredam emosinya. Para penjaga dengan paksa menyuruh dia pergi. Dan pada saat akan pergi,terdengar suara yang menghentikan langkahnya.
“ Tunggu kisanak…!!! ” suara itu terdengar tidak begitu asing lagi di telinganya. spontan Raje Pendite menghentikan lengkah dan berebalik kearah datangnya suara itu. Tak terduga betapa bahagianya Raje Pendite karena pemilik suara tadi adalah orang yang selama ini ia rindukan.
“ Ayahanda….ibunda…ananda Raje Pendite sudah kembali …!! ” bergetar suara Raje Pendite menahan haru.
“ Anakku kemarilah…!! ” kata mereka penuh suka cita. Raje Pendite dengan cepat menghampiri kedua orang tuanya. Dalam sekejap dia sudah berada dalam pelukan hangat orang yang dicintainya.
Kebahagiaan jelas tergambar diwajah mereka. walaupun air mata sempat menghiasi pertemuan ini sudah sekian lama mereka terpisah dan kini dapat berkumpul kembali tiada lagi kata terus terucapkan selama mereka berpelukan melepaskan rindu yang selama ini Terpendam.
Mereka tidak memperdulikan orang-orang yang ada di sekelilingnya ikut terhanyut dalam pertemuan ini rasa syukur atas rahmat yang maha kuasa terucap tulus dari mereka setelah segala kerinduan yang selama ini terlampiskan, kemudian mereka masui kedalam bangunan itu dengan wajar dan senyum bahagia
Keceriannya begitu nyata pada keluarga Pendite Ali Mukmin. dengan kehadiran raja di tengah-tengah kehidupan mereka Dunia ini terasa begitu penuh arti Ingin rasanya mereka tetap bersama sampai akhir nanti.
Raje Pendite menceritakan suka duka selama ditempa dengan keras, untuk menghadapi kehidupan didunia ini. semua sudah dijalaninya dengan ikhlas dan penuh kesungguhan hingga akhirnya dia dapat merasakan hasil yang diperolehnya tentu sangatlah berguna bagi dirinya sendiri juga bagi sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Keinginan dapat meraih ilmu dan pengetahuan yang lebih banyak lagi dan bermanfaat untuk kehidupan membuat hatinya bergejolak buat menyibak tirai yang tersembunyi di luasnya jagat raya.
*****
Siang malam perasaan itu selalu menghantui dan mengganggu jiwa serta pikirannya, sehingga pada akhirnya Raje Pendite mengambil suatu keputusan untuk pergi mengembara. Pada saat menginjak usia 20 tahun, Raje Pendite dengan perasaan berat dan terpaksa diungkapkan kepada ayah bunda tercinta.
Tentu saja keputusannya ini membuat kedua orang tuanya dan seluruh keluarga besar sangat terkejut, akan tetapi dengan kebijakan dan penuh pengertian ayah bunda merestui apa yang diinginkan anaknya. Dan restu kedua orang tuanya itulah yang membuat Raje Pendite semakin mantap dan bulat. Semangat yang membara tentu tidak angkat memberatkan langkah kakinya.
Melalui Selat Sunda, Raje Pendite meninggalkan Pulau Jawa menuju Pulau Sumatera. selama dalam perjalanan baru, terbuka mata hatinya dan menyadari betapa luasnya dunia ini hingga seakan-akan tidak mempunyai batas dan tepi. keindahan alam dengan aneka ragam bentuk dan isinya membuat dia berdecak kagum. betapa kecil dan tak berdaya dirinya di hadapan Sang Pencipta yang telah penuh kasih sayang melimpahkan rahmat dan karunia-nya.
Pada saat pertama kali Raje Pendite menyentuh tanah Pulau Sumatera, hatinya sangat gembira. Tanpa mengenal rasa lelah. Raje Pendite meneruskan perjalanannya ke Pulau Sumatera. Derasnya hujan dan dinginnya malam bukanlah penghalang baginya.
Setelah melintasi beberapa lembah dan bebukitan, sampailah Raje Pendite di Sumatera bagian Selatan. Hatinya terpanah dengan keindahan panorama alam yang terbentang didepan matanya. Semua masih tampak alami dan belum banyak terjamah manusia.
Kicau burung di hutan rimba seolah-olah mengucapkan selamat datang bagi raja di Sumatera Selatan. langkah kakinya semakin terasa ringan manakala dia berada di daerah ini. sekian lama Raja Pendite dengan segala suka dukanya di perjalanan,. Sampai pada suatu hari dia menemukan muara sungai yang sekarang disebut Sungai Ogan.
Dengan menurutkan kata hatinya, Raje Pendite menyusuri Sungai Ogan kearah Ulu, terus berjalan dan berjalan tak mengenal lelah walau keringat membasahi tubuhnya. Tanpa disadari Raje Pendite melihat ada beberapa orang di pinggiran sungai ogan yang melakukan rutunitas sehari-harinya.
Tak lama kemudian, diantara mereka ada yang memberanikan diri menyapa Raje Pendite. Bagi mereka kedatangan orang asing yang tak dikenal sama sekali patut diwaspadai.
“ Oiii..! nak kemane tu…?? hasanye kite ni lum kalenye tegah… ” tanya salah seorang diantara mereka ketika menyapa Raje Pendite.
Walaupun Raje Pendite kurang tahu maksud perkataannya. Dia mencoba untuk memahami ucapan tersebut.
“ Saya hanyalah seorang pengembara yang secara kebetulan lewat di daerah ini. Saya mohon maaf andaikala telah mengganggu kalian ”. sopan santun Raje Pendite membalas sapaan mereka, suaranya lembut dan berwibawa.
Tutur sapa Raje Pendite yang santun menepis rasa curiga mereka terhadap orang-orang asing yang dijumpai hari ini perkataan Raja Pendite belum dapat mereka pahami secara keseluruhan akan tetapi komunikasi antara mereka dapat terjalin dengan baik juga kerap kali diiringi dengan bahasa isyarat. Kemudian orang yang menyapa tadi mengulang ucapannya.
“ Nak kemane mamak tu….??? ” sambil memerhatikan Raje Pendite dari ujung rambut sampai kaki.
“Sebagai seorang pengembara, saya ingin menyusuri sungai ini sampai ke hulu ”. kata Raje Pendite sambil tangnnya mengarah kehulu sungai
“ Jadi…. mamak tu nak ke lu gan awan ugan ni…!! ” jawabnya dengan menunjuk kearah hulu sungai.
“ Ya” jawab Raje Pendite singkat dan tegas.
“ Ahi ni la petang negal agi malam , mak mane kalu mamak tu singgah kudai temalam dibadah kami…?? ” kata mereka sambil menunjuk ke perkampungan yang tidak jauh tempat mereka berdiri.
Meskipun kurang memahami maksud mereka, tapi Raje Pendite dapat sedikit mengerti dan merasakan niat baik penduduk setempat.
“ Terima Kasih saudaraku atas kebaikan hati kalian, akan tetapi saya harus segera pergi untuk melanjutkan perjalanan ini”. Raje Pendite berkata dengan lembut dan hormat kepada mereka.
“ Kalu lok itu kendak mamak, cuman ati ati kian di utan himbe banyak himau…!!” orang tersebut menunjuk ke arah hutan rimba yang terbentang di hulu sungai ogan
“Sekali lagi saya ucapkan terima kasih atas nasehat dan kebaikan hati kalian …!!”Raje Pendite mohon pamit kepada mereka, kemudian dia kembali melanjutkan pengembaraannya.
Entah berapa lama Raje Pendite menyusuri aliran Sungai Ogan, hingga suatu hari dia sampai disebuah lubuk yang di anugrahi sebatang pohon besar dan rindang. Rasa letih ditubuhnya membuat dia memutuskan untuk beristirahat sebentar, sekedar melepas penat seharian berjalan.
Teduhnya pepohonan dan desir angin yang sejuk, memberikan ketenangan baginya.Dibawah pohon itu dia berbaring dan perlahan matanya terpejam.
Cukup lama Raje Pendite tertidur.Tiba-tiba ia tersentak mana kala ada sesuatu yang jatuh menimpa wajahnya. Dia bangkit dan memandang sekitarnya dengan meencari benda apa yang telah mengusik tidurnya. Tidak jauh dari kainya ditemukan suatu benda seperti buah, maka refleks dia melihat keatas pohon tempatnya bernaung.
Raje Pendite tersenyum. dilihatnya pohon itu penuh dengan buah yang segar sekali lompat dia sudah berada di atas dahan pohon itu. dipetiknya beberapa buah dan dimakannya buah ini seperti buah duku tapi bentuk dan isi maupun rasanya berbeda. “buah apa gerangan ini ?” katanya dalam hati, sambil terus menikmati buah tersebut. Rasa segar buah yang dimakannya dapat menghilangkan rada dahaga meskipun dia belum tahu buah apa yang telah dinikmatinya.
Alangkah baiknya tempat ini dibangun sebuah pemukiman. Mungkin kelak di suatu saat nanti dapat maju dan berkembang. Tanpa menunggu waktu yang lama waktu yang lama, seorang diri Raje Pendite mendirikan sebuah bangunan sebagai tempat berteduh dari terpaan alam. Maka dalam waktu tak begitu lama, harapannya pun terwujud. Ini semua berkat ilmu kesaktian yang dimilinya dan didukung oleh semangat pantang menyerah.
Tak dapat dhindarkan lagi keberadaan tempat ini, kadangkala sempat menarik perhatian orang-orang yang melintasi di Sungai Ogan. Pernah ada beberapa orang yang dengan sengaja menepi untuk melihat tempat itu. Mereka bertemu Raje Pendite yang seorang diri berada ditempat itu. Kedatangan mereka disambut gembira dan hangat oleh Raje Pendite.
Melihat kesuburan tanah yang sangat baik untuk bercocok tanam, tanpa rasa ragu dan malu mereka mengungkapkan niatnya. Andai kata Raje Pendite tidak keberatan ingin rasa mereka tinggal dan menetap di tempat itu nantinya.
Begitu mengetahui maksud dan tujuan mereka, Raje Pendite dengan tangan terbuka menyambut kehadiran mereka. Mungkin inilah jalan yeng telah dikaruniakan Yang Maha kuasa baginya, untuk mengakhiri kisah pengembara dalam kehidupannya.
Sebelum mereka pergi meninggalkan tempat itu, mereka berjanji suatu saat aka kembali lagi. Saat itu, Raje Pendite menenyakan apa nama buah dari pohon besar yang sering dimakannya itu…?? mereka tersenyum lalu memberi tahu bahwa itulah yang dinamakan “ Buah Tupak”.
Raja Pendite tersenyum sendiri setelah orang-orang tadi pergi meninggalkan tempat itu. dilihatnya pohon besar dan Rindang yang ada di tepian sungai Ogan itu. buah Tupak…..Buah tupak…..tupak….tupak gumamnya sambil melangkah masuk ke rumah.
Semua yang ditanam Raja Pendite dapat tumbuh dengan baik dan subur tak terasa Kini dia telah dapat memetik hasilnya. untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan lainnya, hasil panen tersebut dibawa ke dusun dusun yang berada di sepanjang aliran sungai Ogan. seringnya Raja Pendite hilir mudik membawa hasil panennya untuk ditukar atau diperjual belikan, dalam waktu tidak lama sudah banyak orang mengenalnya.
Dari mulut kemulut, secara berantai, tersebar kabar bahwa ada dusun yang tanahnya sebur dan sangat baik buat bercocok tanam. Tak disangka, tempat yang dulunya rimba telah menjadi sebuah perkampungan.
Perkampungan ini berada tidak jauh dari pinggiran sungai ogan yang ada lubuknya, melalui hasil rembug dan musyawarah serta mufakat mereka bersama, maka semua orang setuju dan sepakat bahwa tempat tinggal mereka diberi nama “ Dusun Lupak Tupak”.
Seiring berjalannya waktu, Raje Pendite mempersunting seorang gadis tambatan hatinya. Tak lama kemudian mereka menikah dan mempunyai keturunan. Suka duka mereka alami berdua hingga memiliki cucu.
Sebagai orang pertama yang membangun tempat itu hingga menjadi sebuah Dusun. Raja Pendite menjadi sosok yang sangat dihormati dan disegani. Bahkan ia dipandang sebagai tetua yang mempunyai kelebihan dari orang-orang lain.
Raje Pendite menjadi sosok panutan mereka. Maka sebgai bentuk tanda penghormatan, mereka memberi Raje Pendite sebuah gelar “Puyang Semudik”.
Konon menurut cerita, sebutan puyang semudik yang diberikan pada dirinya tidak lepas dari kebiasaannya hilir mudik membawa hasil panennya. semua barang bawaannya diperdagangkan sampai ke dusun-dusun yang berada yang ada di Hulu Sungai Ogan sehingga dirinya begitu dikenal dengan orang pada saat itu.
Suatu keanehan yang sering terjadi dan membuat orang merasa heran serta kagum menyaksikannya, ketika rakyat yang dinaikinya dapat melesat dengan kecepatan yang sulit diterima akal pada saat mudik ke untuk melawan derasnya arus sungai Ogan. Wajar saja semua ini bisa terjadi berkat kesaktian dimilikinya.
Seiring waktu berlalu, perlahan-lahan nama raja sudah mulai memudar jarang disebut orang mereka lebih mengenal nama Puyang Semudik meskipun belum mengetahui atau mengenal bentuk atau rupa orang yang tapi mereka tidak memperdulikan semua itu padahal antara Raja Pendite dan Puyang Semudik adalah satu orang hanya segelintir orang yang tertentu masih mengetahui nama aku yang sesungguhnya.
Suatu hari, Puyang Semudik hendak pergi kepalembang untuk berbelanja kebutuhan yang diperlukan. Kepergiannya tidak lah sendiri melainkan bersama para puyang dari dusun-dusun lain, Para puyang tersebut adalah Puyang Sangkeguwah Dari Dusun Surau, Puyang Rie Jipang/ Pati/Kiarun Dari Dusun Belambangan, Puyang Senapi Senapi Dari Dusun Ampar-Ampar, Puyang Riye Tempo Dari Dusun Muara Saeh, Puyang Sembilan Gelas Dari Dusun Le Babi, Puyang Tuan Dari Dusun Beringin, Puyang Muara Laham Dari Dusun Pampah, Puyang Jege Pering Dari Dusun Ujan Mas, Dan Puyang Dari Dusun Kerantang.
Kebiassan orang pada masa itu sebelum berpergian terlebih dahulub mereka membuat sebuah Rejung (rakita yang terbuat dari bambu) sebagai sarana transportasi. para puyang sibuk mempersiapkan segala keperluan dan perbekalan selama di perjalanan, Karena perjalanan yang ditempuh akan memakan waktu yang cukup lama.
Rombongan para puyang masing-masing membawa Sepikul Beras, untuk perbekalan di perjalanan. Entah mengapa Puyang Semudik tidak membawa beras, melainkan membawa Ketan Hitam Stimpung Labu. Prilaku Puyang Semudik tidak dihiraukan oleh paya puyang rombongan itu, karena mereka sibuk dengan keperluan dan tugasnya masing-masing.
Semua persiapan dipastikan sudah rampung dan cukup. Maka para rombongan puyang pun mulai meninggalkan Dusun Lubuk Tupak menuju Palembang. Rejung yang ditumpangi para puyang melaju dengan cepat menyusuri derasnya arus Sungai Ogan.
Saat matahari mulai tepat berada diatas kepala. Sebagian dari mereka sibuk memasak nasi dan sebagian lagi menangkap ikan. Tanpa sepengetahuan para puyang yang lain, secara diam-diam Puyang Semudik mencampurkan segenggam ketan hitam kedalam kawah tempat memasak nasi.
Setelah itu dia membaur bersama teman seperjalanannya. Bersanda gurau seakan akan tidak ada sesuatupun yng telah diperbuatnya. Tak lama kemudian nasi pun matang dan siap untuk dimakan.
Begitu tutup kawah itu di buka mereka semua terkejut, nasi yang dimasak berubah warna menjadi hitam tidak putih seperti biasanya.
“beras yang dimasak adalah milik saya, karena beras saya hitam sedangkan beras kalian adalah beras putih”. Puyang Semudik berkata dan beranjak mengambil sepiring nasi, sedangkan mereka terdiam dan tak mengerti apa yang telah terjadi dengan beras mereka.
Selanjutnya secara bergantian para puyang ikut mengambil nasi dan makan bersama dengan nikmatnya walau di hati masing-masing masih diliputi rasa tidak mengerti Atas kejadian ini selama makan tidak ada kata yang terucap di antara mereka semua masih bingung dan heran serta penasaran Apa yang sebenarnya mereka alami
Selama perjalanan, kejadian itu berulang kali terjadi. Beras putih yang mereka masak selalu berubah menjadi hitam. sedangkan jarak perjalanan tinggal beberapa hari lagi akan sampai di Palembang namun permasalahan yang mereka hadapi belum menemukan titik terangnya.
Timbul inisiatif seorang puyang dari dusun pampah, yaitu puyang muara laham mencari solusinya. Puyang muara laham secara diam-diam memperhatikan semua gerak gerik teman seperjalanannya demi mencari akar permasalahan yang mereka hadapi.
Dengan kesaktian yang dimiliki Puyang Muara Laham. Puyang Semudik tidak menyadari perbuatannya ada yang mengetahui dan melihatnya. Sehingga dengan tenang dia meninggalkan kawah yang sudah dicampuri dengan segenggam katan hitam. Seperti tidak ada terjadi apapun, kemudian dia berkumpul bersama teman seperjalanannya.
Akar permasalahan selama ini sangat merisaukan dan mengganggu sudah terjawab, Akhirnya, puyang muara laham mengetahui perbuatan dan kecurigaan Puyang Semudik. Tanpa sepengetahuan Puyang Semudik kejadian ini diceritakan oleh puyang muara laham kepada teman seperjalanannya. Mereka hanya dapat menggekeng-geleng kepala atas kejahilan Puyang Semudik dengan kesal.
Mereka sepakat untuk memberi pelajaran terhadap Puyang Semudik. Dan balasan ini akan dilakukan pada saat akan pulang kepalembang. Mereka berlabuh dan singgah beberapa hari di palembang. Semua berjalan seperti penuh canda dan tawa. Perjalanan tek terasa sudah memasuki perairan Sungai Musi.
Mereka berlabuh dan singgah beberapa hari di Palembang. ketika berada di Palembang mereka berbelanja segala kebutuhan pokok yang mereka perlukan. selama di Palembang mereka berjalan-jalan di keramaian sambil Menikmati keindahan suasana perkotaan. setelah merasa cukup dan segala kebutuhan yang dicari sudah didapatkan, mereka mereka pun kembali ke rejung yang mereka dapatkan di tepian sungai Musi untuk beristirahat dan besok mereka akan meninggalkan Palembang.
Keesokan harinya mereka mulai berkemas mempersiapkan diri untuk pulang. Pada saat itu lah mereka menjalankan rencana. Mereka bersama sama mengucilkan dan menghancurkan Puyang Semudik, mendapat perlakukan seperti ini Puyang Semudik merasa risih.
Dengan sengaja mereka tidak mengajak Puyang Semudik naik Rejung yang mulai meninggalkan tepian sungai Musi, merasa di tinggalkan Puyang Semudik hanya diam dan berdiri seperti patung melihat tingkah laku teman seperjalanannya.
Tak lama kemudian Puyang Semudik berteriak.” Pulanglah kalian berjalan kaki, saya akan pulang melalui sungai…! ujarnya sambil tersenyum.
“heiii semudik …! bagaimana kamu bisa mengatakan kami berjalan kaki dak kamu melalui sungai ? kami punya rejung untuk kembali, sedangkan kamu pulang naik apa ? ha…ha…ha! kata puyang riye dari dusun muara saeh sambil tertawa
“ooiiii semudik…!! pulang lah berjalan kaki biar kami pulang melalui sungai…! teriak puang sangkeguwah dari dusun surau
Mendengar perkataan ini, mereka kembali tertawa.
Mendapat perlakuan seperti itu, Puyang Semudik diam tanpa menjawab sepatah kata pun, kemudian dia mengambi sepuluh batang lidi dari buntalan pakaiannya. Perlahan-lahan, sepuluh batang itu lidi itu diletakkannay berjajar diatas permukaan air, maka dalam sekejap mata beubah menjadi sebuah Rejung yang bagus dan kokoh. Secepat kilat Puyang Semudik sudah berada di atas Rejung itu, sambil senyum menghiasi bibirnya.
Para puyang sempat terpanah dalam keheranan, namun semua itu tidak berlangsung lama. Terdengar suara puyang sembilan belas dari dusun le babi, untuk memancing emosi Puyang Semudik.
“hai semudik! Meskipun kamu sudah memiliki rejung, tapi kamu tidak akan dapat sampai dengan cepat”, kata puyang sembilan belas sambil bertepuk tangan.
“ya semudik. Kamu sendiri di rejung itu, mana mungin dapat menandingi kecepatan rejung kami”. Kata puyang riye jipang dari dusun lontar.
Mendengar perkataan Puyang Riye Jipang, telinga Puyang Semudik mulai memerah, tanpa basa basi lagi dengan lantang dan sombong dia berkata, “baiklah…kita lihat saja, siapa yang bisa berjalan!”. Setelah itu secara Tiba-tiba rejung Puyang Semudik berjalan sendiri dengan cepa, dalam sekejap mata Rejung Puyang Semudik sudah tak terlihat lagi lenyap seperti di telan bumi.
Para puyang tersentak dan segera menggerakkan rejungnya, dengan maksud mengejar rejung Puyang Semudik. Sungguh diluar dugaan, rejung mereka tidak dapat bergerak sama sekali. Segala usaha telah mereka tetapi semua percumah. Keringat bercucuran membasahi tubuh mereka.
Tenaga mereka seperti terkuras habis, akhirnya mereka tertunduk lemas dan hanya saling pandang dalam kebisuan. Mereka secara jantan mengakui kalau Puyang Semudik memiliki kesaktian yang tidak kalah dengan mereka.
Puyang tuan dari dusun beringin, yang dikenal memiliki suara yang sangat lantang pun berteriak, “eeiiii….semudik….! semudik….semudik…kembalilah…! tolong bawa kamipulang…!
Suara puyang tuan bergema terbawa angin dan terdengar sampai di telinga Puyang Semudik.
Puyang Semudik baru tersadar akan keegoisan dirinya membutakan mata hatinya, sehingga begitu tega dan sampai hati meninggalkan mereka dalam kesusahan. Rasa bersalah membuat dia memutar haluan rejungnya.
Wajah ceria dan tersenyum yang tulus Puyang Semudik mempersilahkan mereka naik ke rejungnya. Mereka bersama lagi menempuh perjalanan untuk pulang ke dusun dengan gembira dan pengalaman yang tak terlupakan.
Didalam perjalanan pulang tidak terjadi lagi kejadian seperti ketika mereka menuju kepalembang, karena semua berjalan dengan wajar tanpa ada masalah yang dapat membuat mereka resah.
*****
Menjelang pagi rejung mereka sudah merapat di dusun lubuk tupak. Semua sibuk mengemasi barang belanjaan untuk di bawa kendaraan. Di daratan, barang belanjaan tersebut mereka kemas kembali, karena mereka akan segera kembali ke dusunnya.
Sebelum berpisah, Puyang Semudik meminta maaf atas kejahilannya slama dalam perjalanan, dia memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa atas kekhilafannya. Dengan lapang dada , hati iklas para puyang menerim permintaan maaf Puyang Semudik. Betapa lega rasa hatinyasetelah meminta maaf diberikan.
Begitu para puyang meminta maaf atas perlakuan mereka yang pernah mengucilkan dan mengacuhkan Puyang Semudik. Permintaan mereka diterima dengan tulus oleh Puyang Semudik yang memebuat semua ganjalan di hati mereka terhapuskan.
ketika hari Mulai berangkat siang Puyang semudik melepaskan sahabatnya untuk kembali ke dusun mereka semoga selamat sampai di tempat tujuan demikianlah doanya kepada yang maha kuasa buat para sahabatnya.
Di Malam harinya puyang semudik di kumpul bersama anak dan menantu serta cucu-cucunya ia ceritakan semua pengalamannya saat pergi ke kota hatiku puyang semudik begitu bahagia ketika dia membagikan oleh-oleh yang dibawanya dia tertawa lepas melihat tingkah laku cucu-cucunya yang menggemaskan beribu rasa bersyukur ia panjatkan kepada Tuhan atas segala nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan untuk keluarganya.
Puyang Semudik meresapi liku-liku Jalan kehidupan yang telah ditetapkan nya selama ini, penuh suka dan duka yang terkadang dihiasi air mata Kini dia bahagia menjalani sisa hidupnya, karena dia di keliling ada orang-orang yang menyayangi dan mencintainya.
Kembali Ia menghampiri anak dan menantu serta cucunya, didepan mereka, Puyang Semudik bersumpah:” anak dan menantu serta cucuku, aku minta kalian tidak akan menanam keta hitam! Ingatlah akan sumpahku ini,” ucapnya
“jangan sekali-kali kalian langgar, camkan itu baik-baik…!”. katanya dan kemudian bangit dari tempat duduknya dan berdiri dihadapan anak dan menantu serta cucu cucunya.
Saat itu juga suara secara tiba-tiba terdengar suara gelegar petir menyambar malam itu. Semua yang ada hanya terdiam meresapi pertanda yang telah diberikan alam.
Untuk menenagkan suasana agar kembali ceria, dia kembali memberikan wejangan dan petuah untuk anak dan menantu serta cucu-cucunya yang sangat dicintainya.
Setelah merasa ada waktu yang tepat, maka Puyang Semudik menyampaikan amanat buat anak dan menantu serta cucunya. Amanat ini kusampaikan kepada seluruh keturunanku, sampai akhir nanti.
“aku titipkan sebentuk wasiat untuk sluruh keturunanku, tolong di perhatikan dan diingat selaam hidup”. Kata Puyang Semudik
“sekerat amun daging, setitik amun darah, pincang. Buta, tuli bukanlah anak cucu keturunanku…!” arti dari ucapan adalah Puyang Semudik mengharapkan tidak ada cucu keturunannya yang melakukan hal yang berlebihan baik itu perilaku maupun dalam berpenampilan. Atau lebih tegasnya, jangan bersikap terlalu baik dan berpenampilan terlalu bagus.
Setelah menyampaikan nasehat itu, Puyang Semudik meninggalkan mereka, lalu menuju kekamar tidurnya. Inilah sekelumit kisah tentang Hikayat Puyang Semudik pendiri Desa Lubuk Tupak Kecamatan Muara Jaya Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Pesan Yang Disampaikan : Hiduplah Dengan Sederhana, Jangan Berlebihan
Sekian