Sinar mentari tidak begitu menyengat hari itu, angin berhembus dengan perlahan lembut membelai dedaunan, sejauh mata lepas memandang, terbentang hamparan padai yang mulai menguning. menanti datangnya waktu untuk di panen. Hewan ternak bebas lepas di padang rumput nan luas, mencari apa yang diinginkan. hijaunya kebun dan ladang menambah panorama nan indah detak kehidupan, apalagi bila sayup-sayup terdengar kicau burung yang tersembunyi di lebatnya hutan balantara.
Sebuah perkampungan sederhana tertata dengan rapi, mencerminkan tingkat kehidupan telah cukup sejahtera. Jalan-jalan yang berada di perkampungan tertata dengan baik dan bersih, begitu juga tempat tinggal dan perkarangannya. Sopan santun dan ramah tamah sesama penduduk setempat maupun pendatang, membuat perkampungan ini penuh ketenangan dan kedamaian. kesuburan tanah yang dikaruniakan sang pencipta tidak disia- siakan oleh penduduk, dengan semangat tinggi mereka bekerja tanpa mengenal lelah.
Hasil panen sering berlimpah di perkampungan ini, berkat kerja keras dan ketekunan dalam usaha meningkatkan tarap kehidupan. kesejahteraan dan kemakmuran yang diperoleh tidak membuat mereka lupa diri, sehinga mereka tidak pernah lupa melakukan upacara ritual sebagai tanda syukur dan terima kasih kepada sang pengguasa alam.
Menurut cerita secara turun-menurun, dahulu kala perkampungan ini bernama ‘Dusun Padang Bindu”, sebuah dusun yang subur, makmur tenteram dan damai, dimana kesejahteraan hidup dapat diarasakan oleh seluruh lapisan penduduk dusun ini.
Sebuah anak sungai yang mengalir di Dusun Padang Bindu ini oleh penduduk setempat di beri nama “Sungai Sumuhun” yang aliran air nya bermuara ke “Sungai Ogan”, airnya yang jernih tenang sekali-kali terlihat bergelombang dengan riak yang berkejar-kejaran. Membuat ikan-ikan riang bermain, seperti menunggu untuk di tangkap. Hari kehari aktivitas penduduk tidak dapat di pisahkan keberadaan sungai Sumuhun ini, rutinitas mandi dan mencuci serta keperluan lainya terus bergulir seiring perjalanan waktu.
Dusun Padang Bindu ini mempunyai seorang raja yang sangat di hormati dan di segani oleh penduduk, karena kearifannya dan kebijaksanannya dalam mengemban tugas sebagai penguasa. Sosoknya sebagai penguasa menjadi panutan seluruh penduduk, arena dia sangat mengutamakan kepentingan rakyatnya di bandingkan kepentingannya pribadi.
Dialah “Raja Balian” sosok penuh kharisma yang begitu di agungkan, menjunjung tingggi harkat kehidupan sesama lapisan masyarakat. sebagai seorang raja dia tidak segan segan turun secara langsung melihat denyut kehidupan rakyatnya, sehingga Raja Balian sangat dicintai oleh rakyatnya. Raja Balian sangat bersyukur atas segala rachmat dan karunia Sang Pencipta atas dirinya, karena itu merupakan amanat yang harus di pikul pada pundaknya. Sebagai orang yang mendapat kepercayaan, dia sangat konsekuen dan mawas diri dalam menjalankan tampuk pemerintahannya.
Kebahagian Raja Balian tak dapat diungkapkan lewat kata-kata, manakala Yang Maha Kuasa berkenan menghadirkan sang putri dalam kehidupanya. Seorang gadis cantik yang beranjak dewasa, membuat seluruh negeri bersuka cita. Bagai kuncup yang tengah merekah, menebarkan harum dan pesona hingga kedusun dusun lain. Banyak pangeran maupun pemuda yang ingin mendapatkan tempat di hatinya, ini semua tidaklah membuat sang putri menjadi tinggi hati.
Kuncup bunga yang tengah merekah itu bernama “Putri Dayang Merindu”. polos lugu bersahaja, walupun dia putri seorang raja. Kecantikan wajahnya tidaklah menjadikan dia sombong dan angkuh, tutur sapanya begitu lembut dan menyentuh pada setiap orang. Periang dan selalu rajin membantu oarng yang membutuhkan, sehingga sang putri menjadi buah bibir yang sangat di kagumi. Seperti gadis-gadis di dusunnya, Putri Dayang Merindu tidak merasa canggung maupun risih mencuci dan mandi bersama mereka. Bersenda gurau menyatu dalam canda disungai menghilangkan nuansa sepi, sehingga kehadiran sang putri sangat berarti bagi mereka.
Menurut hikayat lama, Putri Dayang Merindu mempunyai sahabat dua ekor harimau besar. Kemanapun dia pergi dua ekor harimau itu selalu menjaganya, mungkin inilah suatu kemukjizatan yang di berikan Sang Pencipta. Persahabatan mereka dapat terjalin berawal pada suatu kejadian, dimana pada suatu sa’at itu bersama beberapa orang pengawal dan inang pengasuh Putri Dayang Merindu berjalan jalan di pinggiran hutan belantara menikmati indahnya alam. Sang Putri tampak begitu bergembira melihat Kupu-Kupu yang menari di antara Bunga-bunga yang merekah dan tumbuh liar di hutan ini, di petiknya sekuntum bunga lalu di selipkannya di rambutnya yang panjang terurai.
Diiringi suara meredu kicau burung Putri Dayang Merindu bermain dengan riangnya kesana kemari, bercanda dan bersenda gurau bersama inang pengasuh yang kadang kala diselingi suara renyah tawa sang putri.
Asiknya Putri Dayang Merindu bermain tak terasa hampir sampai di tengah hutan, semua gerak sang putri saat bermain tak lepas dari kewaspadaan para pengawal, agar tak terjadi sesuatu yang dapat membahayakan sang putri. Semua terkejut, ketika terdengar suara harimau yang sempat membuat Sang Putri Daang Merindu di cekam rasa takut. Para pengawal dan inang pengasuh dengan sigap melindungi sang putri untuk mengatasi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Rasa takut dan khawatir Putri dayang Merindu berangsur-angsur hilang, karena suara harimau itu bagi sang putri terdengar seperti suara yang minta tolong. Perasaan kasihan membawa langkah sang putri untuk mencari asal datangnya suara tersebut, tindakan sang putri ini di ikuti para pengawal dengan penuh kesiagaan untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Sesampainya di sumber suara Putri Dayang Merindu melihat dua ekor harimau yang masuk perangkap para pemburu, mellihat sorot mata dan tatapan yang memelas dari kedua ekor harimau membuat rasa iba di hati sang putri.
Perasaan kasihan menghilangkan rasa takut Putri Dayang Merindu, kedua ekor harimau itu dibebaskan dari jerat perangkap. Luka luka kedua harimau itu di bersihkan dan diobati dengan dedaunan, mendapat perlakuan tulus dan lembut. Membuat dua ekor harimau itu tidak terlihat buas, apalagi ganas terhadap sang Putri. Dibelai dan dielusnya kepala dua ekor Harimau penuh kasih sayang, kedua harimau itu membalas dengan cara menjilati tangan Putri Dayang Merindu.
Rupanya di antara mereka telah terjalin benang merah tali persahabatan, semua yang menyaksikan bedecak kagum. Harimau dikenal hewan liar yang buas dan ganas dapat membalas budi, pada orang yang telah menolongnya. Bianglala membias di kaki langit setelah renai hujan, matahari mulai menampakan diri dengan cerah. Butiran air masih ada tertinggal di pohon dan rerumputan, kumbang dan kupu-kupu terbang hinggap dari bunga ke bunga lain.
Hari itu seperti biasa Putri Dayang Merindu pergi turun ke sungai untuk mencuci pakaian dan mandi, secara kebetulan hari itu sang putri tidak menjumpai seorangpun temannya. Untuk mengusir sunyi sang putri bersenandung sambil mencuci, di temani dua ekor harimau sahabatnya yang berada tidak jauh darinya. Inilah awal mula datangnya bencana yang tak terduga, dari kejauhan terlihat ada sebuah rakit yang tengah menyusuri aliran Sungai Ogan. Dengan tenang orang di rakit itu mengukuti arus sungai, secara kebetulan rakit itu menuju kearah sang putri.
Suara mendesah senandung Putri Dayang Merindu terbawa angin sayup-sayup terdengar di telinga orang tersebut. dia adalah seorang pengembara yang secara tak sengaja mendengar sanandung sang putri. kemudian sang pengembara membawa rakitnya menepi di pinggiran Sungai Ogan. Jiwanya begitu tergoda untuk mengetahui dan mencari dari mana datangnaya suara senandung itu, hatinya sudah terpaut pada pemilik suara merdu yang di dengarnya. Walaupun dia tidak tahu siapa gerangan pemiliknya, melalui pinggiran sungai dia melangkah kearah datangnya suara.
Dari kejauhan di balik pepohonan si pengembara melihat ada seseorang gadis yang bersenandung sambil mencuci, dia terus melangkah mendekat kearah sang gadis, langkah kakinya sempat berhenti, begitu melihat sang gadis tidak sendirian. Sang gadis ternyata di temani dua ekor harimau, tidak terlihat dari kejauhan sebab tersembunyi dibalik bebatuan dekat gadis.Sang pengembara berdiri dengan gagah menampakan dirinya, rambutnya yang panjang sebatas pundak di permainkan angin. Tubuhnya tingi dan kekar, wajahnya tampan namun terkesan kaku dan angker. Sorot matanya yang tajam memandang sang gadis, akan tetapi sang gadis tidak menyadari kehadiran sang pengembara.
Suara kedua ekor harimau mengaum dengan keras, seolah olah ingin memberi tahu kepada Putri Dayang Merindu ada sesuatu yang tak diinginkan. Kedua ekor harimau itu bergerak dengan liar kesana kemari dengan gelisah, sang putri hanya tersenyum dan berusaha menenangkan kedua sahabatnya itu. Kembali kedua ekor hairmau itu mengaum dengan keras, sambil melihat kesatu arah tepat di belakang Putri Dayang Merindu. dengan rasa penasaran sang putri membalik tubuhnya melihat ke arah belakang, tetapi sang putri tidak melihat sesuatu yang patut untuk di curigai.
Dibelainya kedua ekor harimau itu dengan lembut, Putri Dayang Merindu tersenyum manis untuk menenangkan kedua sahabatnya dan sang putri melanjutkan cuciannya. Bahasa isyarat yang dilakukan kedua ekor harimau itu sebagai tanda peringatan, melalui gerak dan suara tidak di mengerti sang putri. Seandainya saja kedua ekor harimau itu dapat bicara, tentu sejak dari semula sudah mengatakan ada orang lain diantara mereka.
Mata sipengembara tidak berkedip sekejap pun, terpana menyaksikan apa yang dilihatnya. Wajah cantik dengan rambut panjang lepas terurai, senyum manis tersungging disudut bibir merah delima. Ketika dengan lembut penuh kasih sayang menenangkan kedua harimau sahabatnya agar tenang, telah membuat kesan tersendiri bagi pengembara.
Lama sudah sipengembara berkelana, baru kali ini hatinya berdetak kencang. Dia sendiri tiadk tahu apa yang telah terjadi, tetapi dia rasakan ada sesuatu getaran dijiwannya. Hasrat ingin mengenal sang gadi begitu membara, membuat sipengembara perlahan –lahan melangkah mendekati sang gadis dan menyapanya.
“Duhai puteri Jelita, ma’afkan kedatangan hamba, jika menggangu kedamaian tuan puteri. Kalau berkenan boleh hamba bertanya, siapakah gerangan tuan puteri nan jelita…? “ lembut terdengar sapa si pengembara, tetapi tetap saja membuat sang gadis terkejut.
Putri Dayang Merindu baru menyadari, bahwa dihadapanya telah berdiri seorang laki-laki tak di kenal. Perasaan takut singgah dihatinya, apalagi keadaan di tepian sungai begitu sunyi dan senyap. Ketakutan begitu erat membelenggu dirinya, ketika Putri Dayang Merindu mengetahui kedua harimau sahabatnya tidak ada lagi di dekatnya. Entah karena kekuatan apa, sehingga kedua harimau yang selama ini selalu setia telah pergi menjauh.
Puteri Dayang Merindu memejamkan mata mengusir rasa takut, denyut jantungnya seakan terhenti seketika. Melihat sang gadis yang gemetar ketakutan si pengembara hanya tersenyum, kembali terdengar suaranya yang lembut dan sopan menegur.
“Duhai puteri jelita…!, hamba mohon ma’af bila tuan puteri merasa terkejut. Perkenankan hamba bertanya, siapakah gerangan tuan puteri…? “
Senyum si pengembara di mata Putri Dayang Merindu terlihat begitu angker dan menakutkan, sehinga lidanya terasa keluh dan tubuhnya semakin gemetar. Ingin Puteri Dayang Merindu menjerit sekeras-kerasnya, agar ada orang yang akan menolongnya. Harapannya tinggal harapan, karena suasana di sekitarnya begitu sunyi dan sepi.
Tegur sapa yang tak tersahut, telah membuat hati si pengembara merasa kesal. Akan tetapi dia tetap mencoba lagi, kembali dia menyapa sang gadis itu.
“Duhai putri jelita…!, tolong jawab sapa hamba ini, janganlah tuan puteri merasa takut, hamba hanya sekedar ingin tahu siapakah gerangan nama tuan puteri.?.”
Putri Dayang Merindu semakin ketakutan sekujur badannya gemetaran dan keringat dingin membasahi tubuhnya. Karena sangat takut sang puteri hanya tertunduk diam, tiada sepatah katapun dapat terucapkan.
Ketika tegur sapanya kembali tidak mendapakan jawaban, perasaan si pengembara merasa tersinggung. Dia sudah berusaha untuk bertutur sapa dengan lembut dan sopan, tetapi tetap dia tak mendapakan jawaban. Sebagai seorang laki-laki si pengembara merasa begitu terhina, karena berulang kali dia telah menyapa sang gadis tetap tak bersuara. Alangkah sombongnya sang gadis di pikirannya, kehadirannya seakan tidak mempunyai arti sedikit pun dimata sang gadis.
Angkara murka bertahta dihatinya, amarah membakat jiwa dan nurani tertutup kebencian. Suara si pemgembara terdengar lantang dan keras, tanpa di sadari terucap kata.
“Kau cantik diam membisu…!, hatimu dingin membeku…!, tubuhmu kaku laksana patung….. Batu …! “. Bentak si pengembara dengan garang, sambil bertolak pinggang dengan geramnya.
Seketika petir menggelegar di hari yang cerah itu, angin kencang menumbang beberapa batang pohon. Gelap sesa’at suasana di sekitar tepian sungai Ogan, secara gemuruh menyakitkan telinga.
Putri Dayang Merindu merasakan ada sesuatu keanehan yang terjadi pada dirinya, getaran panas menjalar di sekujur tubuhnya. Sa’at itu Putri Dayang Merindu merasakan seluruh tubuhnya kaku sulit digerakan, masih terngiang-ngiang di telinga Putri Dayang Merindu perkataan si pengembara. “ Batu…batu…Batuuuu……!! “, kemudian lenyap tak terdengar lagi. Perlahan Puteri Dayang Merindu merasakan adanya perubahan di dirinya, tanpa sempat menyadari apa yang terjadi.
Alam tembangkan kidung nestapa, dahan dan ranting gemersik bisu. Tiada lagi kicau burung terdengar, hanya gemercik air sungai mengalunkan suara sunyi, semua diam dan membisu hanya keheningan yang ada, dalam sekejap wujud jelita perlahan berganti rupa menjadi batu.
Si pengembara tersentak dan menarik napas dalam-dalam, takkala angkara murka mulai mereda di dada. Dia merasakan keterkejutan yang luar biasa, menyaksikan wujud jelita sang gadis berubah menjadi batu. Ada terselip rasa penyesalan yang mendalam direlung hatinya, tapi apa hendak dikatakan semua telah terjadi tak mungkin akan kembali seperti semula. Si pengembara mengatur napasnya, sekedar menepis gejolak perasaan di jiwanya.
Setelah si pengembara dapat menaklukan galau dihatinya, dia bersikap seperti biasa. Seakan tidak pernah terjadi suatu cerita kehidupan di dunia ini, tidak ada terlihat rasa sesal diraut wajahnya yang kaku dan angker. Dengan tenang si pengembara menurutkan kata hatinya untuk melangkah, perlahan dia berjalan menuju kearah perkampung.
“Wahai… Kanda junjungan hamba, adakah suatu gerangan yang telah membuat hati kanda tertikam gundah..? “ suara istrinya dapat sedikit mengusir kerisauaan hatinya, lalu Raja Balian mengajak istrinya duduk berdampingan.
“Duhai…. Dinda belahan jiwa…! , memang benar apa yang dinda ungkapkan. Dihati kanda ada sebentuk kegelisahan, kenapa kecemasan begitu erat membalut hati kanda seolah-olah ada yang akan terjadi…. !“
Raja Balian memandang permaisurinya untuk sekedar mecari jawaban, akan tetapi itu tidak di temukannya. Dalam kecemasanya Raja Balian menggenggam kedua tangan isteri tercinta, disini dia mendapakan sedikit ketenangan yang dapat menyejukan kerisauan hatinya.
“ Kanda mencemaskan puteri kita..? bukankah dia sudah biasa pergi kesungai..! jadi kanda tak perlu begitu mencemaskannya, mungkin sebentar lagi puteri kita pulang…?”
“ Bukan… bukan itu dinda… !, tetapi … entahlah kanda sendiri juga tidak tahu …!”. Kecemasan Raja Balian semakin terlihat diwajahnya, sang isteri berusaha menguatkan hati Raja Balian agar tidak terlalu gelisah.
Melihat kecemasan dan kegelisahan suaminya, lambat laun hatinya juga merasakan kekhawatiran. Firasatnya sebagai seorang ibu mata bening itu berkaca-kaca, dia takut terjadi sesuatu pada buah hatinya. Kemudian mereka diam seribu bahasa, yang ada hanya keheningan mencekam. Dalam hati mereka memohon kepada Yang Maha Esa, agar tidak ada sesuatu yang akan menimpa diri putri tercinta.
Sementara itu tak disangka si pengembara telah sampai di mulut Dusun Padang Bindu, dia menghentikan langkah kakinya. Dengan sorot mata yang tajam dan liar, si pengembara memandang keadaan sekitarnya. Rumah-rumah tertutup rapat dan jalan tampak lengang, seperti tidak ada denyut kehidupan. Perasaan ingin tahu dan penasaran si pengembara melanjutkan langkah kakinya, sambil melihat kekiri dan kekanan.
Sampai di tengah dusun langkah si pengembara terhenti, pandangan matanya tertuju pada bagunan besar yang kokoh dan megah. Arsitektur bagunan itu sungguh sangat indah, begitu juga ornament dan relief yang terpahat menghiasi hampir memenuhi seluruh bangunan. Sejenak si pengembara terpaku, dia berdecak kagum pada apa yang dilihatnya. Baru kali ini dia berada di tempat yang makmur dan kaya, selama bertahun-tahun dia berkelana. Ada suatu kejanggalan yang membuat si pengembara heran, mengapa dusun ini sunyi seperti tidak berpenghuni. Hasrat hati untuk mampir sebentar sekedar melepaskan lelah dari perjalanan panjangnya, ternyata tidak seperti apa yang dia harapkan.
Kesunyian dan kesepian yang merata membuat hatinya kesal bercampur marah, apalagi peristiwa yang baru saja terjadi di tepian sungai terlintas kembali. Api amarah dan kesal kembali membawa membakar nuraninya, sehingga apa yang terpendam tidak dapat lagi dibendungnya.
“ Apakah ini perkampungan..?!, bila ini perkampungan kemana… kemana penghuninya…?!. Si pengembara bergumam dengan wajah memerah, dia memandang suasana sekitarnya.
“ Hooiiiiiii ……! penghuni kampung …!, dimana kalian .…?, kalian tahu ini bukan kampung…..!, tetapi lebih pantas disebut Goa… baaatuuuu ..….! ”, suara geram dan kesal bergema membentur lembah dan lereng bebukitan, maka peristiwa seperti di pinggir sungai terulang kembali.
Petir menggelegar dengan sangat dahsyatnya sambung menyambung, pohon bertumbangan disertai atap beberapa rumah berterbangan di udara dahan dan ranting serta debu menyatu berhamburan. Seluruh dusun tertutup gelap yang sangat pekat dan kelam, sungguh mencekam dan… mengerikan…!. Tidak berselang begitu lama, semua yang terjadi usai sudah. Prahara menakutkan kini telah berlalu hanya meninggalkan sebentuk keheningan yang mencekam. Matahari enggan menampakan diri, tiada lagi nyanyian merdu menghiasi kehidupan. Semua hilang lenyap dan musnah, sirna terkubur nestapa nan pedih.
Indahnya perkampungan telah tiada, tinggal Goa Batu yang menjelma. Gemercik air Sungai Sumuhun menyentuh bebatuan, menyimpan segores kenangan yang menjadi saksi bisu dan abadi. Tiada mungkin tapi ini nyata, samar-samar setelah tragedi berlalu tanpak si pengembara berdiri angkuh. Senyum penuh arti tersungging sinis di bibirnya, hanya si pengembara yang tahu apa sudah terjadi.
Dingin dan kaku serta menakutkan, tajam si pengembara memandang apa yang terhampar dihadapannya. Dusun yang dulu tenteram dan damai, telah berubah menjadi “Goa Batu”. Raja dan seluruh rakyatnya berserta semua kehidupan yang ada telah berubah wujud menjadi penghuni goa batu terkubur dan terpendam dalam sebentuk cerita.
Siapakah sebenarnya si pengembara itu..?, ternyata dia adalah “Serunting Sakti”. Dia lebih di kenal orang dengan julukan “Si pahit Lidah”, karena kata yang terucap dapat berakibat pahit bagi kehidupan siapapun. Dari mana asal muasal si Pahit lidah…?!, inilah sedikit cerita lama dari mulut kemulut yang secara turun temurun selalu di kisahkan.
Dulunya Serunting Sakti hanyalah seorang manusia biasa, tidak mempunyai ilmu dan kesaktian yang dapat diandalkan. Bertahun tahun dia bekerja dan mengabdi pada seseorang “ Kiai Sakti Mandraguna “, karena ketekunan dan kerajinannya bekerja membuat sang kiai sangat menyayanginya. Setelah sekian lama mengabdi pada sang kiai, maka diangkatlah Serunting Sakti menjadi muridnya, Serunting Sakti tidak pernah berputus asa, untuk meminta ilmu kedigjayaan. Setiap ada kesempatan, dia selalu memohon untuk diajarkan ilmu pada sang kiai.
Sekian lama sang guru belum juga mengabulkan permohonan Serunting Sakti, namun itu semua tidak membuat dia patah semangat. Suatu ketika sang guru sedang duduk sendirian, langsung Serunting Sakti memeluk dan sujud di kaki sang guru. Dia memohon dan meminta kepada sang guru, agar berkenan mengajari ilmu kesaktian.
“ Guru….. mohon ma’af dan ampun atas ketidak sopanan hamba, begitu lancang untuk diajarkan sedikit ilmu untuk bekal kehidupan hamba…!” katanya sambil bersimpuh di kaki sang guru.
“ Apakah yang telah kuberikan dan ku ajarkan belum cukup anak ku..? , sehingga engkau masih minta untuk di ajarkan lagi…!, sang guru berdiri dan membelakangi Serunting Sakti, kemudian sang guru beranjak mau melangkah pergi.
Melihat sang guru yang akan pergi meninggalkan dia, Serunting Sakti segera memeluk erat kaki sang guru sambil memohon.
“ Tolong… tolonglah guru… ! , ajarkan hamba sedikit ilmu. Hamba mohon guru … !!” katanya dengan memelas.
Orang yang sangat di segani dan di kagumi itu hanya diam, kemudian melangkah pergi setelah kakinya terlepas dari pelukan Serunting Sakti. Tinggal Serunting Sakti yang duduk sambil tertunduk sedih, dari kejauhan sang guru memandang Serunting Sakti dengan senyum penuh makna.
Setelah cukup lama Serunting Sakti memohon dan meminta terus menerus, mungkin sudah sa’atnya hati sang guru akhirnya luluh juga. Tanpa diduga sama sekali oleh serunting sakti, suatu hari dia di panggil sang guru untuk menghadap. Mendapat panggilan sang guru yang tak pernah dibayangkannya selama ini, membuat haru biru peraaan di jantung Serunting Sakti disa’at datangnya rasa suka cita ini.
Dihadapan sang guru yang sudah dianggapnya seperti orang tua sendiri, dengan khidmat Serunting Sakti duduk mendengarkan petuah yang diberikan, dirasakan sudah cukup wejangan dan petuah diberikan, maka sang guru sudah siap menurunkan ilmunya.
“ Anakku…!, bukankah engkau pernah meminta, untuk diajarkan satu ilmu sebagai bekal hidupmu…?”, suara berat dan berwibawa terdengar menyejukan hati, membuat Serunting Sakti tertunduk semakin dalam.
“ Ampun guru…!, memang hamba telah begitu lancang dan tak tahu diri, ma’afkan…ma’afkan hamba guru…!”. Serunting Sakti berkata sambil tetap menunduk, tidak berani menatap wajah sang guru.
“ Anakku…!, apakah hati dan jiwa mu sudah siap untuk menerima yang akan saya berikan…? ”.
“ Hamba… sudah siap guru..!!. Suara lantang dan tegas Serunting Sakti menjawab, ini mencerminkan kemauannya yang sangat kuat.”
“ Baik.. kalau begitu, sekarang buka… bukalah mulut lebar-lebar…!”.
Pada sa’at serunting sakti membuka mulutnya, secara bersamaan itu pula sang guru membuang ludahnya kedalam mulut Serunting Sakti. Kejadian ini membuat Serunting Sakti merasa terkejut, tetapi dia merasakan adanya getaran yang merasuk dan menjalar keseluruh tubuhnya.
“ Engkau jangan terkejut anakku, itulah ilmu pamungkas yang ku tittipkan hanya padamu…!, jagalah amanah ini dipundakmu selama engaku meniti kehidupan, jangan lupa…! dan ingat ada sang penguasa alam yang senantiasa melihat semua prilaku mu… ! “.
Serunting Sakti sujud mencium penuh hormat kaki sang guru, haru dan bahagia mensyukuri apa yang telah dia dapatkan.
“ Anakku…, ! bekalmu untuk mengembara sudah cukup, tetapi jangan pernah lupa selama berkelana. Belajarlah terus dan carilah ilmu setinggi mungkin, dan perlu engkau ketahui diatas langit masih ada langit…! ”.
“ Semua petuah dan wejangan serta amanah guru, akan hamba ingat dan patuhi selama hamba masih bernyawa…!” .
“ Sekarang pulanglah kekampung halaman mu, lepaskan kerinduan yang terpendam selama ini. Keluarga mu tentu juga merindukan dirimu, bersilaturahmilah dengan berabatmu
dan handaitaulan “. Sambil berkata sang guru berlalu dari hadapan Serunting Sakti.
Dalam pengembaraanya, segala sepak terjang Serunting Sakti telah membuat dirinya begitu di takuti dan di segani. Rupanya kesaktian Serunting Sakti ada pada lidahnya, bila hatinya kesal dan marah kata-kata yang keluar dai mulutnya sangat berbahaya.
Selama Serunting Sakti mengembara menuruti apa kata hatinya, sudah banyak lembah dari ngarai serta perkampungan sudah dia singgahi ataupun di lewati. Apabila datang kekesalan di hatinya, maka semua yang kena sabdanya akan berubah wujud menjadi batu. Sementara dia sendiri tidak menyadari atau menghendakinya, kerap kali dia merenungi semua peristiwa yang pernah dialaminya.
Sepanjang jalan dan tempat dia lalui banyak peristiwa dan kejadian yang mengerikan, orang yang dijumpainya dan perkamungan serta hewan bahkan entah apa lagi telah berubah menjadi batu. Sementara itu hanya karena tidak menjawab tegur sapa darinya, sehingga Serunting Sakti mendapat julukan “ Si Pahit Lidah “.
Demikianlah legaenda Puteri Dayang Merindu, yang tidak di pisahkan dengan cerita asal mula terjadinya Goa Puteri, Legenda ini sampai sekarang masih tetap hidup dan diceritakan turun temurun, dikalangan masyarakat Padang Bindu.
Di tengah Sungai Ogan dapat kita ada sebuah batu yang di percaya jelmaan Puteri Dayang Merindu, akibat kutukan si Pahit Lidah. Sedangangkan perkampungan menjelma menjadi Goa Batu yang disebut Goa Puteri. Sempai sekarang masih dapat di saksikan Batu Puteri dan Goa Puteri, kini menjadi salah satu objek wisata yang unik dan menarik di Kabupaten Ogan Komering Ulu.
S E K I A N
P e n u l i s
Mgs. Aminullah , SH
Daftar pustaka
- Khusni Karana dan Ach. Sanusi, 1988. (Cerita rakyat Kab. OKU: Si Pahit Lidah)
- Dinas Pariwisata Kab. Dati II Prof Sum-Sel, 1993.
- Usman NR. 1996. Legenda Terjadinya Sahumanan Dusun (Goa Putri)
- A. Rohim. 2002. Legenda Rakyat Kab. OKU Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabuapaten OKU
- Majalah Tamasya. Jendela Wisata Indonesia. 2003
Narasumber
- Hodemi (50 th). Warga Desa Padang Bindu Kec. Semidang Aji Kab. OKU
- Bambang Irawan (45 th), Kepala Desa Padang Bindu Kec. Semidang Aji. Kab. OKU
- A. Kori (60 Th), Warga Desa Padang Bindu Kec. Semidang Aji Kab. OKU