LUBUK TUPAK

Pekatnya malam telah berganti cahaya fajar membias dikaki langit, kokok ayan jantan sudah tak terdengar lagi berkumandang menyambut datangnya pagi. Kabut masih enggan berlalu menyelimuti mayapada, butiran embun bergelayutan didedaunan dan semak belukar. Jalan setapak yang berliku belum kering disiram hujan semalam, dingin terasa membalut tubuh yang malas beranjak dari pembaringan.

Dilereng gunung samar terlihat seorang pemuda yang tengah melakukan gerakan seperti menari, lentur dan ringan gerak tubuhnya yang kadangkala berkelebat sangat cepat penuh tenaga.

Sangat gesit dan lincah gerakannya kesana kemari, sehingga sulit untuk dapat diikuti pandangan mata. Rupanya dia sedang berlatih ilmu bela diri, dibimbing seorang lelaki tua yang cukup disegani, ketekunan dan semangatnya berlatih membuat lelaki tua itu sangat menyayanginya.

Sinar mentari telah menerangi bumi, sekarang terlihat dengan jelas bentuk yang kekar berotot bersimbah keringat menyudahi latihannya. Lelaki tua itu tersenyum puas dengan hasil jerih payahnya melatih pemuda ini selama bertahun-tahun, tak disangka pemuda ini dengan baik dapat menyerap ilmu yang diajarkannya.

Mereka berdua duduk berhadapan dengan beralaskan tikar dibawah sebatang pohon yang cukup rindang, udara sejuk pagi ini telah memberikan kesegaran bagi mereka. Sambil melepas lelah sang pemuda menunduk penuh hormat pada Lelaki tua yang merupakan gurunya, menunggu dengan sabar wejangan dan petuah apa yang akan diberikan sebagai bekal kehidupannya nanti.

Siapa gerangan pemuda ini sebenarnya ……….?. Pemuda ini bernama “ Raje Pendite “, yang merupakan putera dari seorang keturunan Raja Banten yang bernama “ Pendite Ali Mukmin “. Sejak usia dini Raje Penditetelah dipercayakan oleh Pendite Ali Mukmin pada seorang guru untuk ditempa dan digembleng, guna mempelajar ilmu lahir maupun bathin dan juga ilmu kanuragan.

Berkat bakat dan ketekunannya Raje Pendite dapat menguasai apa yang telah diberikan gurunya dengan baik, sehingga kemampuannya sudah tidak diragukan lagi. Hari-hari berjalan begitu cepat berlalu tanpa terasa, ilmu dan pengetahuan yang dimiliki sang guru telah diwariskan semua pada dirinya. Sang guru memberikan semangat dan dorongan pada muridnya, agar mau menimba ilmu dan pengetahuan setinggi mungkin sebagai bekal meniti kehidupan ini.

Sang guru berpesan agar sang murid jangan terlalu cepat merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, bila perlu cari dan kejarlah ilmu dan pengetahuan itu walau sampai keujung dunia. Jangan pernah lupa bahwa dimana kita berpijak disitu langit kita junjung, kesombongan dan keangkuhan niscaya dapat menghancurkan diri sendiri.

Suara jangkrik dan burung hantu terdengan bersahutan digelapnya malam, desir angin membelai rimbunnya pepohonan dan cahaya rembulan bersembunyi dibalikawan. Didalam pondok sederhana duduk sang guru bersama muridnya,  penuh perhatian sang murid mendengarkan segala yang diberikan sang guru.

Malam semakin larut dan hawa dingin begitu terasa menyentuh tubuh, kiranya sudah cukup sang guru memberikan apa yang dimilikinya kepada sang murid. Kini sudah waktunya bagi mereka berdua untuk beristirahat, guna menyongsong hari esok yang telah siap menanti.

Didalam biliknya Raje Pendite merebahkan diri diatas pembaringan, merenungi dan meresapi semua yang telah diberikan sang guru  untuknya. Cahaya lentera perlahan mulai meredup, suasana gelap mulai merebak dan dingin mulai menghampiri membuat dia tertidur lelap.

Beberapa bulan kemudian tiba saatnya bagi Raje Pendite untuk turun gunung, walau terasa berat baginya untuk pergi meninggalkan sang guru. Perintah sang guru yang begitu dihormatinya tak mungkin mampu dibantahnya, ini semua harus dijalani agar dia dapat mengenal dunia luar guna menimba ilmu dan pengetahuan yang lebih banyak lagi.

Berpisah satu kata yang sangat sederhana, namun sanggup membuat sekeping hati terbalut duka. Berat sang guru melepaskan kepergian sang murid untuk mengarungi samudera kehidupan, begitu juga sang murid sampai tak kuasa menahan tetes air mata. Sang guru tersenyum memberi semangat dan kekuatan, agar sang murid tidak mudah terbuai dengan perasaan.

Akhirnya merekapun berpisah, senyum dan lambaian tangan sang guru mengiringi langkah kaki Raje Pendite menuruni jalan setapak dipegunungan ini. Sang guru tidak beranjak dari tempatnya berdiri sampai sang murid menghilang dari pandangannya, kemudian untuk terakhir kalinya Raje Pendite menoleh kebelakang.

Setelah itu Raje Pendite mempercepat langkah kakinya, agar perasaan tidak melemahkan tekatnya. Mungkinkah mereka akan bertemu lagi …………………. ? !, itulah itulah sebentuk harapan mereka berdua dan hanya Yang Maha Kuasa mengetahuinya.

Wajah Raje Pendite berseri-seri selama dalam perjalanan, karena tidak akan lama lagi dia dapat bertemu dengan Ayahbunda yang telah sekian lama terpisah. Kerinduan hatinya untuk perjumpaan itu memberikan semangat yang begitu menggelora, sehingga rasa letih tak dirasakan dan secepatnya dia ingin sampai ditujuan.

Sekian lama perjalanan itu telah dilaluinya tanpa mengenal lelah, suatu hari dari kejauhan sudah dapat terlihat tanah kelahirannya didepan mata. Raje Pendite semakin bersemangat untuk mempercepat langkah kakinya, agar kerinduan yang selama ini terpendam segera dapat terobati.

Didepan sebuah bangunan cukup besar dengan halaman yang luas Raje Pendite menghentikan langkah kakiya, dia sempat teregun melihat tempat yang sudah sekian lama ditinggalkan. Selama dia pergi tidak banyak perubahan yang terjadi, hampir sama seperti dulu katanya dalam hati.

Wajah-wajah baru yang tidak begitu dikenalnya terlihat sedang berjaga didepan bangunan utama, hanya ada satu atau dua orang saja yang wajahnya masih dia kenal dan melekat diingatannya. Apakah mereka masih dapat mengenal diriku ……………?, inilah satu tanya yang sempat melintas dibenaknya.

Raje Pendite segera bergegas memasuki pekarangan menuju bangunan utama, seulas senyum tersungging dibibirnya membayangkan kebahagiaan berjumpa dengan kedua orang tuanya. Tentu mereka tidak akan menduga sama sekali, ini kejutan yang  tak terbayangkan pikir Raje Pendite dengan hati berbunga.

Akan tetapi langkahnya dihentikan oleh beberapa orang penjaga, mereka menatap Raje Pendite dengan penuh kecurigaan. Dalam sekejap para penjaga telah mengurung dirinya dengan membentuk lingkaran, kewaspadaan terlihat jelas pada diri para penjaga. Mendapat perlakuan yang tidak diharapkan seperti ini, membuat dia terkejut dan tidak menyangka sama sekali.

Ada perasaan kesal dan marah sempat membara didalam dadanya, kemudian dia merenungi semua kejadian ini. Dia harus bisa menahan diri dan berbesar hati, setelah menyadari apa yang tengah dihadapinya dengan kesabaran.  Mereka tentu sudah sudah lupa siapa dia sebenarnya, ini merupakan suatu kewajaran yang tak terelakkan. Dia sudah begitu lama pergi meninggalkan tempat ini dan baru kembali, tentu saja kesalah pahaman ini terjadi.

Sambil tersenyum ramah Raje Pendite memperkenalkan diri, dia mengatakan siapa dia sebenarnya. Para menjaga tidak cepat percaya begitu saja dan menerima pengakuannya. Sempat terjadi suasana yang cukup memanas saat itu, tetapi Raje Pendite dapat meredam emosinya. Para penjaga dengan paksa menyuruh dia pergi, disaat dia akan pergi ada suara yang menghentikan langkahnya.

Tunggu kisanak…!. Suara terdengar rasanya tidak begitu asing lagi ditelinganya, Raje Pendite menghentikan langkahnya dan berbalik kearah datangnya suara tersebut. Sungguh tak terkira betapa bahagianya Raje Pendite, karena pemilik suara tadi adalah orang yang selama ini sangat dirindukan ada dihadapannya.

Seorang lelaki paruh baya didampingi seorang perempuan yang usianya tidak jauh berbeda memandang tak berkedip, lama mereka saling pandang seakan tak percaya dengan kenyataan yang ada.

“ Ayahanda, bunda…. ananda Raje Pendita sudah kembali….! “, bergetar suara Raje Pendite menahan haru.

“ Raje Pendite….!. Secara bersamaan mereka menyebut namanya, kedua orang itu tersenyum gembira sambil merentangkan tangannya.

“ Anakku kemarilah….!, kata mereka penuh suka cita. Raje Pendite dengan cepat menghampiri kedua orang tuannya, dalam sekejap dia sudah berada dalam pelukan hangat orang yang dicintainya.

Kebahagiaan jelas tergambar diwajah mereka, walaupun air mata sempat menghiasi pertemuan ini. Sudah sekian lama mereka terpisah dan kini dapat berkumpul kembali, tiada lagi kata terucapkan selama mereka berpelukan melepaskan rindu yang selama ini terpendam.

Mereka tidak memperdulikan orang-orang yang ada disekelilingnya ikut terhanyut dalam mpertemuan ini, rasa syukur atas rachmat Yang Maha Kuasa terucap tulus dari mereka. Setelah segala kerinduan yang selama ini terlampiaskan, kemudian mereka masuk kedalam bangunan itu dengan wajah dan senyum bahagia.

Kecerian begitu nyata terwujud dikeluarga besar Pendite Ali Mukmin, dengan kehadiran Raje Pendite ditengah-tengah kehidupan mereka.Dunia ini terasa begitu pnuh arti, ingin rasanya mereka tetap bersama sampai akhir nanti.

Raje Pendite menceritakan suka duka selama ditempa dengan keras, untuk menghadapi kehidupan didunia ini. Semuasudah dijalaninya dengan ikhlas dan penuh kesungguhan, akhirnya dia dapat merasakan hasil yang diperolehnya. Tentu sangatlah berguna bagi dirinya sendiri, juga bagi sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Keinginan dapat meraih ilmu dan pengetahuan yang lebih banyak lagi dan bermanfaat untuk kehidupan, membuat hatinya bergejolak buat menyibak tirai yang tersembunyi diluasnya jagat raya.

Siang malam perasaan itu selalu menghantui dan mengganggu jiwa serta pikirannya, sehingga pada akhirnya Raje Pendite mengambil suatu keputusan untuk pergi mengembara. Pada saat menginjak usia 20 tahun Raje Pendite tak sanggup lagi membendung keinginannya, maka dengan perasaan berat dan terpaksa diungkapkannya kepada ayahbunda tercinta.

Tentu saja keputusannya ini membuat kedua orang tuanya dan seluruh keluarga besar sangat terkejut, akan tetapi dengan bijaksana dan penuh pengertian ayahbunda meresturi apa yang diinginkan anaknya.

Mendapat restu kedua orang tuannya membuat hati Raje Pendite semakin mantap dan bulat, semangat yang membara tentu tidak akan memberatkan langkah kakinya.

Melalui Selat Sunda Raja Pendite meninggalkan Pulau Jawa menuju Pulau Sumatera, selama diperjalanan baru terbuka mata hatinya dan menyadari betapa luasnya dunia ini. Seakan-akan tidak mempunyai batas dan tepi, keindahan alam dengan aneka ragam bentuk dan isinya membuat dia berdecak kagum. Betapa kecil dan tak berdaya dirinya dihadapan Sang Pencipta, yang telah penuh kasih sayang melimpahkan rachmat dan karunia Nya.

Pada saat untuk pertama kali kaki Raje Pendite menyentuh tanah Pulau Sumatera hatinya sangat gembira, semangatnya untuk melanjutkan pengembaraan di Pulau Sumatera mengalahkan rasa penat yang sempat membelenggunya. Tanpa mengenal rasa lelah Raje Pendite meneruskan perjalanannya di Pulau Sumatera, derasnya hujan dan dinginnya malam bukanlah penghalang baginya.

Setelah melintasi beberapa lembah dan bebukitan, sampailah Raja Pendite di Sumatera Bagian Selatan. Hatinya begitu terpana dengan keindahan panorama alam yang terbentang didepan matanya,  semua masih alami belum seluruhnya sempat  terjamah manusia.

Kicau burung di hutan rimba seolah-olah mengucapkan selamat datang bagi Raje Pendite di Sumatera Selatan, langkah kakinya semakin terasa ringan dikala dia berada didaerah ini. Sekian lama Raje Pendite dengan segala suka dukanya diperjalanan, sampai pada suatu hari dia menemukan muara sungai yang sekarang disebut Sungai Ogan.

Dengan menurutkan kata hatinya Raje Pendite menyelusuri Sungai Ogan kearah hulu, terus berjalan dan berjalan tak mengenal lelah walau keringat membasahi tubuhnya. Hari-hari berlalu mengikuti perjalanan waktu tanpa disadari Raje Pendite dalam pengembaraannya, dari kejauhan dia melihat ada beberapa orang dipinggiran Sungai Ogan yang melakukan rutinitas sehari-harinya. Raje Pendite berjalan menuju orang-orang tersebut, kehadirannya cukup membuat mereka menghentikan aktivitasnya dan menatap dengan sorot mata tajam penuh curiga.

Tak lama kemudian diantara mereka ada yang memberanikan diri menyapa Raje Pendite, bagi mereka kedatangan orang asing yang tak dikenal sama sekali patut diwaspadai.

Ooiii…….! nak kemane mamak tu ……. ?, hasenye kite ni lum kalenye tegah ………. ! “ ( Ooiii……..! hendak kemana tujuan saudara ………?, rasanya kita belum pernah berjumpa sebelumnya ………! ), tanya salah seorang diantara mereka ketika menyapa Raje Pendite.

Walaupun Raje Pendite kurang tahu maksud perkataan mereka, akan tetapi dia mencoba untuk mengerti dan memahami ucapan tersebut

“ Saya hanyalah seorang pengembara yang secara kebetulan lewat didaerah ini, saya mohon maaf andaikata telah mengganggu kalian “. Sopan dan santun Raje Pendite membalas sapaan mereka, suaranya lembut dan berwibawa.

Tutur sapa Raje Pendite yang santun menepis rasa curiga mereka, terhadap orang asing yang dijumpai hari ini. Perkataan Raje Pendite belum dapat mereka pahami secara keseluruhan, akan tetapi komunikasi antara mereka dapat terjalin dengan baik. Juga kerap kali diiringi dengan bahasa isyarat, kemudian orang yang menyapa tadi mengulangi ucapannya.

Nak kemane mamak tu…. ? “ (hendak kemana tujuan saudara …?), sambil memperhatikan Raje Pendite dari ujung rambut  sampai keujung kaki.

“ Sebagai seorang pengembara, saya ingin menyusuri sungai ini sampai kehulu “, kata Raje Pendite sambil tangannya mengarah kehulu sungai yang airnya jernih dan deras.

Jadi ….. mamak tu nak ke lu gan awan ugan ni …..! (Jadi …. saudara hendak pergi kehulu Ogan melalui Sungai Ogan ini ….. ! ) , dengan menunjuk kearah hulu sungai.

“ Ya…. !, jawab Raje Pendite singkat dan tegas.

Ahi ni la petang negal agi  malam, mak mane kalu mamak tu singgah kudai temalam dibadah kami …..? ( Hari sudah menjelang sore sebentar lagi malam, bagaimana bila saudara bermalam dulu ditempat kami….? ), kata mereka sambil menunjuk kearah perkampungan yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Meskipun kurang memahami maksud mereka, tapi Raje Pendite dapat sedikit mengerti dan merasakan niat baik penduduk setempat.

“ Terima kasih saudaraku atas kebaikan hati kalian, akan tetapi saya harus segera pergi untukmelanjutkan perjalanan ini “. Raje Pendite berkata dengan lembut dan hormat kepada mereka.

Kalu lok itu kendak mamak, cuman ati-ati kian di utan himbe banyak himau …..! “ ( Andaikata seperti itu kehendak saudara, berhati-hatilah dihutan rimba banyak harimau….. ! ), orang tersebut menunjuk kearah hutan rimba yang terbentang dihulu Sungai Ogan.

“ Sekali lagi kuucapkan terima kasih saudaraku atas nasehat dan kebaikan hati kalian ….. ! “. Raje Pendite mohon pamit kepada mereka, kemudian dia kembali melanjutkan pengembaraannya menyusuri Sungai Ogan.

Entah berapa lama Raje Pendite berjalan menyusuri aliran Sungai Ogan, hingga suatu hari dia sampai disebuah lubuk yang dinaungi sebatang pohon besar dan rindang.Rasa letih ditubuhnya membuat dia memutuskan untuk beristirahat sebentar, sekedar melepas penat seharian berjalan.

Teduhnya pepohonan dan desir angin yang sejuk memberikan ketenangan baginya, dibawah pohon itu dia berbaring dan perlahan matanya terpejam. Gemercik air seakan bersenandung menghantar Raje Pendite dalam buaian alam, dia terlena dan tidur dengan lelapnya.

Cukup lama Raje Pendite tertidur dan tersentak dia seketika, manakala ada sesuatu yang jatuh menimpa wajahnya. Dia bangkit dan memandang sekitarnya dengan waspada, mencari benda apa yang telah mengusik tidurnya. Tidak jauh dari kakinya ditemukan suatu benda seperti buah,  secara refleks dia melihat keatas pohon tempatnya bernaung.

Raje Pendite tersenyum, dilihatnya pohon itu penuh dengan buah yang segar. Sekali lompat dia sudah berada diatas dahan pohon itu, dipetiknya beberapa buah dan dimakannya. Buah ini seperti buah duku, tapi  bentuk dan isi maupun rasanya berbeda. Buah apa gerangan ini katanya dalam hati, sambil terus menikmati buah tersebut.Rasa segar buah yang dimakannya dapat menghilangkan rasa dahaga, meskipun dia belum tahu buah apa yang telah dinikmatinya

Alangkah baiknya tempat ini dibangun sebuah permukiman, mungkin kelak disuatu saat nanti dapat maju dan berkembang. Tanpa menunggu waktu yang lama, seorang diri Raje Pendite mendirikan sebuah bangunan sebagai tempat berteduh dari terpaan alam. Dalam waktu singkat telah terwujud apa yang diinginkannya, ini semua berkat ilmu kesaktian yang dimilikinya dan didukung oleh semangat pantang menyerah.

Berkat ketekunannya tempat itu telah berubah dengan cepat, sekarang telah menandakan ada denyut kehidupan disana. Tak dapat dihindarkan lagi keberadaan tempat ini, kadangkala sempat menarik perhatian orang-orang yang melintas di Sungai Ogan.

Pernah ada beberapa orang yang dengan sengaja menepi untuk melihat tempat itu, mereka bertemu dengan Raje Pendite yang seorang diri berada disini. Kedatangan mereka disambut gembira dan hangat oleh Raje Pendite, keramahan dan tata keramah yang santun sangat melegakan hati mereka.

Melihat kesuburan tanah yang sangat baik untuk bercocok tanam, tanpa rasa ragu dan malu mereka mengungkapkan niatnya. Andaikata Raje Pendite tidak merasa keberatan, ingin rasanya mereka tinggal dan menetap disini nantinya.

Begitu mengetahui maksud dan tujuan mereka, betapa bahagia hati Raje Pendite dengan tangan terbuka menyambut kehadiran mereka.  Mungkin inilah jalan yang telah dikaruniakan Yang Kuasa baginya,  untuk mengakhiri kisah pengembaraan dalam hidupnya.

Sebelum mereka pergi meninggalkan tempat itu dan berjanji suatu saat akan kembali lagi, tidak lupa Raje Pendite menanyakan apa nama buah dari pohon besar yang sering dimakannya itu ….. ?. Mereka tersenyum lalu memberi tahu bahwa itulah “ Buah Tupak “ namanya, hati Raje Pendite merasa lega rasa penasaran selama ini sudah terjawab.

Raje Pendite tersenyum sendiri setelah orang-orang tadi pergi meninggalkan tempat itu, dilihatnya pohon besar dan rindang yang ada ditepian Sungai Ogan. Buah Tupak …. Buah Tupak …. Tupak …. Tupak….!, gumamnya sambil melangkah masuk kerumah.

Semua yang ditanam Raje Pendite dapat tumbuh dengan baik dan subur, tak terasa kini dia telah dapat memetik hasilnya. Untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan lainnya, hasil panen tersebut dibawa kedusun-dusun yang berada disepanjang aliran Sungai Ogan. Seringnya Raje Pendite hilir mudik membawa hasil panennya untuk ditukar atau diperjual belikan, dalam waktu tidak lama sudah banyak orang mengenalnya.

Dari mulut kemulut secara berantai tersebar kabar, bahwa ada dusun baru yang tanahnya subur dan sangat baik buat bercocok tanam. Lambat laun banyak orang tertarik dan berdatangan untuk menetap didusun ini, tak disangka tempat yang dulunya hutan rimba telah menjadi sebuah perkampungan.

Perkampungan ini berada tidak jah dari pinggiran Sungai Ogan yang ada lubuknya, ditepiannya tumbuh sebatang Pohon Tupak yang besar dan berbuah lebat serta berdaun rindang. Melalui hasil rembuk dan musyawarah serta mufakat mereka bersama, maka semua orang setuju dan sepakat bahwa tempat tinggal mereka diberi nama “ Dusun Lubuk Tupak “.

Sebagai manusia biasa tentu saja Raje Pendite membutuhkan seorang pendamping untuk menjalani kehidupan ini, seorang gadis telah mengisi relung hatinya dan cintapun tak bertepuk sebelah tangan.Raje Pendite mempersunting gadis tambatan hatinya, suka duka meraih bahagia telah direguknya bersama sampai di mempunyai anak cucu.

Raje Pendite orang pertama membangun tempat itu menjadi sebuah  dusun sangat dihormati dan disegani, karena dipandang sebagai “ Tetua ” yang mempunyai kelebihan dari orang-orang lain.

Raje Pendite menjadi sosok panutan mereka, figur yang mempunyai kharisma dan bijaksana dalam berprilaku serta berwawasan luas, maka sebagai tanda penghormatan mereka Raje Pendite diberi gelar “ Puyang Semudik “.

Konon menurut cerita, sebutan Puyang Semudik yang diberikan pada dirinya tidak lepas dari kebiasaannya yang hilir mudik membawa hasil panennya. Semua barang bawaannya diperdagangkan sampai  kedusun-dusun yang berada yang ada dihulu Sungai Ogan, sehingga dirinya begitu dikenal orang pada saat itu.

Suatu keanehan yang sering terjadi dan membuat orang merasa heran serta kagum menyaksikannya, ketika rakit yang dinaikinya dapat melesat dengan kecepatan yang sulit diterima akal disaat mudik kehulu melawan derasnya arus Sungai Ogan.   Wajar saja semua ini bisa terjadi berkat kesaktian yang dimilikinya, walaupun kebenarannya masi merupakan Mesteri yang terpendam dalam sebentuk cerita.

Seiring waktu berlalu perlahan-lahan nama Raje Pendite sudah mulai memudar jarang disebut orang, mereka lebih mengenal nama Puyang Semudik. Meskipun belum mengetahui atau mengenal bentuk dan rupa orangnya, tapi mereka tidak memperdulikan semua itu.

Padahal antara Raje Pendite dan Puyang Semudik adalah satu orang, hanya segelintir orang yang tertentu masih mengetahui nama Puyang semudik sesungguhnya.

Suatu hari Puyang Semudik hendak pergi ke “ Palembang “  untuk berbelanja kebutuhan yang diperlukan, kepergiannya ke Palembang tidaklah sendirian. Melainkan bersama para Puyang dari dusun-dusun lain, para Puyang tersebut adalah :

  • Puyang Semudik dari Dusun LubukTupak.
  • Puyang Sangkeguwah dari Dusun Surau.
  • Puyang Rie Jipang/Pati Suke/Kiarun dari Dusun Belambangan.
  • Puyang Senapi dari Dusun Ampar-ampar ( Kemala Jaya).
  • Puyang Riye Tempo dari Dusun Muara Saeh.
  • Puyang Sembilan Galas dari Dusun Le Babi ( Sambi Rata ).
  • Puyang Tuan dari Dusun Beringin
  • Puyang Muara Laham dari Dusun Pampah
  • Puyang Jege Pering dari Dusun Ujan Mas.
  • Puyang dari Dusun Kerantang

Kebiasaan orang pada masa itu sebelum berpergian,terlebih dahulu mereka membuat sebuah “ Rejung “ (rakit yang terbuat dari bambu) sebagai sarana transportasi. Para Puyang sibuk mempersiapkan segala keperluan dan perbekalan selama diperjalanan, karena perjalanan yang  ditempuh akan memakan waktu yang cukup lama.

Rombongan para Puyang masing-masing membawa “ Sepikul Beras  (kurang lebih 100 Kg) “ , untuk perbekalan selama diperjalanan. Entah mengapa  Puyang  Semudik  tidak     membawa beras, melainkan membawa “ Ketan Hitam Stimpung Labu ( kurang lebih 1 kg ) ”. Prilaku Puyang Semudik initidak dihirauukan oleh para Puyang dirombongan itu, karena mereka sibuk dengan keperluan dan tugasnya masing-masing.

Semua persiapan dipastikansudah rampung dan cukup, maka rombongan para Puyang mulai meninggalkan Dusun Lubuk Tupak menuju ke Palembang. Rejung yang ditumpangi para Puyang melaju dengan cepat menyusuri derasnya arus Sungai Ogan, semua bisa terjadi dikarenakan mereka bukanlah orang-orang sembarangan.

Disaat matahari sudah hampir tepat berada diatas kepala. Sebagian dari mereka mulai sibuk memasak nasi dan senbagian lagi menangkap ikan. Tanpa sepengetahuan para Puyang yang lain, secara diam-diam Puyang Semudik mencampurkan segenggan ketan hitan kedalam kawah tempat memasak nasi.

Setelah itu dia kembali membaur bersama teman seperjalanannya, bersenda gurau seakan-akan tidak ada sesuatupun yang telah diperbuatnya. Lauk pauk sudah telah dihidangkan tinggal  menunggu nasi masak, tak lama kemudian nasi masak dan siap untuk dimakan.

Begitu tutup kawah dibuka mereka semua terkejut dan heran, nasi yang dimasak berubah warna menjadi hitam tidak putih seperti biasanya.

“ Beras yang dimasak adalah milik saya, karena beras saya hitam sedangkan beras kalian beras putih “ . Puyang Semudik berkata dan beranjak untuk mengambil sepiring nasi, sedangkan mereka terdiam dan tak mengerti apa yang telah terjadi dengan beras yang mereka masak.

Selanjutnya secara bergantian para Puyang ikut mengambil nasi dan makan bersama dengan nikmatnya, walau dihati masing-masing masih diliputi rasa tidak mengerti atas kejadian ini. Selama makan tiada kata yang terucap diantara mereka, semua masih bingung dan heran serta penasaran apa yang sebenarnya mereka alami.

Selama dalam perjalanan kejadian itu berulang kali terjadi, beras putih yang mereka masak selalu berubah menjadi hitam. Sedangkan jarak tempuh perjalanan tinggal beberapa hari lagi akan sampai di Palembang, namun permasalahan yang mereka hadapi belum menemukan titik terangnya.

Timbul inisiatif seorang Puyangdari Dusun Pampah yaitu Puyang Muara Laham untuk mencari solusinya, semua ini dilakukannya tanpa diketahui oleh seorangpun diantara mereka. Puyang Muara Laham secara diam-diam memperhatikan semua gerak gerik teman seperjalanannya, demi mencari jawaban akar dari permasalahan yang mereka hadapi.

Dengan kesaktian yang dimiliki Puyang Muara Laham, kehadirannya tidak dirasakan oleh Puyang Semudik sama sekali. Puyang Semudik tidak menyadari perbuatannya ini ada yang mengetahui dan melihatnya, sehingga dengan tenang serta santai dia meninggalkan kawah perapian yang sudah dicampurinya dengan segenggam ketan hitam. Seperti tidak ada terjadi apapun, kemudian dia  berkumpul kembali.bersama teman seperjalanannya.

Akar permasalahan selama ini sangat merisaukan dan menggangu sudah terjawab, akhirnya Puyang Muara Laham mengetahui perbuatan dan kecurangan Puyang Semudik. Tanpa sepengetahuan Puyang Semudik kejadian ini diceritakan oleh Puyang Muara Lahan kepada teman seperjalanannya, mereka hanya dapat mengeleng-gelengkan kepala atas kejahilan Puyang Semudik dengan kesal.

Mereka sepakat untuk memberi pelajaran terhadap Puyang Semudik, ini akan mereka balas pada saat akan kembali dari Palembang. Semua berjalan seperti biasa penuh canda dan tawa, perjalanan tak terasa sudah memasuki perairan Sungai Musi .

Mereka berlabuh dan singgah beberapa hari di Palembang, ketika berada di Palembang mereka berbelanja segala kebutuhan pokok yang mereka perlukan. Selama di Palembang mereka berjalan-jalan dikeramaian sambil menikmati keindahan suasana perkotaan, setelah merasa cukup dan segala kebutuhan yang dicari sudah didapatkan. Mereka kembali ke Rejung yang mereka tambatkan ditepian Sungai Musi,  untuk beristirahat dan besok  mereka akan meninggalkan Palembang.

Keesokan harinya mereka mulai berkemas mempersiapkan diri untuk  perjalanan pulang kedusun mereka, pada saat itulah mereka menjalankan rencananya untuk memberi pelajaran agar Puyang Semudik jera. Mereka bersama-sama mengkucilkan dan mengacuhkan Puyang Semudik, mendapat perlakuan seperti ini Puyang semudik merasa risih dan mulai merasa ada kejanggalan diantara mereka.

Dengan sengaja mereka tidak mengajak Puyang Semudiknaik Rejung yang mulai meninggalkan tepian Sungai Musi, merasa ditinggalkan Puyang Semudik hanya diam dan berdiri seperti patung melihat tingkah laku teman seperjalanannya.

Tak lama kemudian Puyang Semudik Berteriak : “ Pulanglah kalian berjalan kaki, saya akan pulang melalui sungai ……..! “, ujarnya sambil tersenyum.

“ Heeeiiii….. Semudik….. !. Bagaimana kamu bisa mengatakan kami berjalan kak,i dan kamu melalui sungai. Kami punya Rejung untuk kembali, sedangkan kamu pulang naik apa ……..?. Ha……ha……ha…….. ! “. Kata Puyang Riye Tempo dari Dusun Muara Saeh, sambil tertawa diikuti oleh pra Puyang lainnya.

“ Ooooiiiii……. Semudik……!. Pulanglah dengan berjalan kaki, biar kami pulang melalui sungai……….!. Teriak Puyang Sangkeguwah dari Dusun Surau, mendengar perkataan ini mereka kembali tertawa.

Mendapat perlakuan seperti ini Puyang Semudik diam tanpa menjawab sepatah katapun, kemudian dia mengambil 10 (sepuluh) batang lidi dari buntalan pakaiannya.

Perlahan-lahan 10 batang lidi itu diletakkannya berjajar diatas permukaan air, dalam sekejap mata kesepuluh batang lidi tersebut secara tiba-tiba berubah menjadi sebuah Rejung yang bagus dan kokoh.Secepat kilat Puyang semudik sudah berada diatas Rejung itu, sambil memandang teman  seperjalanannya dengan senyum menghiasi bibirnya.

Para Puyang sempat terpana dalam keheranan, namun semua itu tidak berlangsung lama. Terdengar suara Puyang Sembilan Galas dari  Dusun Le Babi, untuk memancing emosi Puyang Semudik.

“ Hai…..Semudik….. !. Meskipun kamu sudah memiliki Rejung, tapi kamu tidak akan dapat sampai dengan cepat “. Suara Puyang Sembilan Galas sambil bertepuk tangan.

“ Ya …….. Semudik…..!.Kamu sendirian di Rejung itu, mana mungkin dapat menandingi kecepatan Rejung kami …….! “, kata Puyang Riye Jipang dari Dusun Lontar.

Mendengar perkataan Puyang Riye Jipang membuat telinga Puyang Semudik memerah, tanpa basa basi lagi dengan lantang dan sombong dia berkata : “ Baiklah … kita lihat saja, siapa yang bisa berjalan …….. ! “. Setelah itu secara tiba-tiba Rejung Puyang Semudik melesat berjalan sendiri dengan cepat, dalam sekejap mata Rejung Puyang Semudik sudah tak terlihat lagi lenyap seperti ditelan bumi.

Para Puyang itu tersentak dan segera menggerakkan Rejungnya, dengan maksud mengejar Rejung Puyang semudik. Sungguh diluar dugaan Rejung mereka tidak dapat bergerak sama sekali, diam terpaku seakan lengket diatas permukaan air.

Segala usaha telah mereka lakukan agar Rejung mereka dapatmelaju, akan tetapi semuanya percuma saja sampai keringat bercucuran membasahi tubuh mereka.

Tenaga mereka seperti terkuras habis, akhirnya mereka terduduk lemas dan hanya saling pandang dalam kebisuan. Mereka secara jantan mengakui kalau Puyang Semudik memiliki kesaktian yang tidak kalah dengan mereka, lalu mereka menyadari bahwa setiap makhluk ciptaan Nya mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing atas kehendak Yang Maha Kuasa.

Puyang Tuan dari Dusun Beringin memiliki suara yang sangat lantang, sehingga suaranya dapat menggetarkan alam.

“ Heeeiiiiiii……….Semudik ……!. Semudik kembalilah …….!, tolong …… tolong bawa kami pulang……. ! “ . Suara Puyang Tuan bergema terbawa angin dan terdengar sampai ditelinga Puyang Semudik, laju Rejungnya dihentikan dan mendengarkan secara seksamasuara yang masih terdengar berkumandang ditelinganya.

Puyang Semudik baru tersadar akan keegoisan dirinya yang telah membutakan mata hatinya, sehingga begitu tega dan sampai hati meninggalkan mereka dalam kesusahan. Rasa bersalah membuat dia memutar haluan Rejungnya, dalam hitungan menit dia sudah sampai dihadapan teman seperjalanannya yang telah menunggu dengan harap-harap cemas.

Wajah ceria dan senyum yang tulus Puyang Semudik mempersilahkan  mereka naik ke Rejungnya, mereka bersama lagi menempuh perjalanan untuk pulang kedusun dengan gembira dan pengalaman yang tak terlupakan.

Didalam perjalanan pulang tidak terjadi lagi kejadian seperti ketika mereka menuju ke Palembang, karena semua berjalan dengan wajar tanpa ada masalah yang dapat membuat mereka resah.

Perjalanan Rejung yang penumpangnya Para Puyang mulai memasuki perairan Sungai Ogan, perasaan lega dan senang menghiasi wajah mereka. Sebentar lagi mereka akan sampai didusun Lubuk Tupak, kemudian mereka akan pulang kedusunnya masing-masing.

Menjelang pagi Rejung mereka sudah merapat didusun Lubuk Tupak, semua sibuk mengemasi barang belanjaan untuk dibawa kedaratan. Didaratan barang belanjaan tersebut mereka kemas kembali, karena mereka akan segera kembali kedusunnya.

Sebelum berpisah Puyang Semudik meminta maaf atas kejahilannya selama diperjalanan, dia memohon ampun kepada Yang Maha Kuasa atas kekhilafannya. Dengan lapang dada hati ikhlas para Puyang menerima permintaan maaf Puyang Semudik, betapa lega rasa hatinya setelah maaf diberikan.

Begitu juga Para Puyang minta maaf atas perlakuan mereka yang pernah mengucilkan dan mengacuhkan Puyang semudik, permintaan maaf mereka diterima dengan tulus oleh Puyang Semudik yang membuat semua ganjalan dihati mereka terhapuskan.

Ketika hari mulai merambat siang Puyang Semudik melepaskan sahabatnya untuk kembali kedusun mereka, semoga selamat sampai ditempat tujuan demikian doanya kepada Yang Maha Kuasa buat para sahabatnya.

Dimalam hari Puyang Semudik kumpul bersama anak dan menantu serta cucu-cucunya, menceritakan semua pengalamannya saat pergi kekota. Hati Puyang Semudik begitu bahagia, ketika dia membagikan oleh-oleh yang dibawahnya.Dia tertawa lepas melihat tingkah laku cucu-cucunya yang menggemaskan, menyaksikan semua ini dia bersyukur kepada Tuhan atas segala nikmat dan karunia yang telah dilimpahkan untuk keluarganya.

Puyang Semudik meresapi liku-liku jalan kehidupan yang telah dititinya selama ini, penuh suka dan duka yang kadangkala dihiasi air mata. Kini dia bahagia menjalani sisa hidupnya, karena disekelilingnya ada orang-orang yang menyayangi dan mencintainya.Dalam kesendiriannya Puyang semudik merenungi sikap dan prilakunya, lalu dia menyadari atas kejahilan dan kecurangan yang pernah dia lakukan terhadap teman seperjalanannya disaat pergi ke Palembang.

Dia menghampiri anak dan menantu serta cucu-cucunya,  didepan mereka Puyang Semudik bersumpah : “ Anak dan menantu serta cucu-cucuku, aku meminta kalian tidak akan menanam ketan hitam ….. !, ingatlah akan sumpahku ini.

Jangan sekali-kali kalian langgar, camkanlah itu baik-baik…. ! “, katanya dan kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berdiri dihadapan anak dan menantu serta cucu-cucunya.

Saat itu juga secara tiba-tiba terdengar suara gelegar petir menyambar dimalam itu, semua terkejut dan terdiam dengan perasaan dan pikirannya masing-masing. Rupanya alam turut menjadi saksi atas sumpah Puyang Semudik, semua yang ada hanya terdiam meresapi pertanda yang telah diberikan alam.

Untuk menenangkan suasana agar kembali ceria, dia kembali memberikan wejangan dan petuah untuk anak dan menantu serta cucu-cucunya yang sangat dicintainya.

Setelah merasa ada waktu yang tepat, maka Puyang semudik  menyampaikan amanat buat anak dan menantu serta cucu-cucunya. Amanat ini kusampaikan kepada seluruh keturunanku, sampai akhir nanti.

“ Aku titipkan sebentuk wasiat untuk seluruh keturunanku, tolong diperhatikan dan diingat selama hidup  “. Kata Puyang semudik dengan suara berat dan berwibawa.

Sekerat amun daging, setitik amun darah, pincang. Buta, tuli bukanlah anak cucu keturunanku ……. ! ” . Yang artinya : “ Puyang Semudik mengharapkan tidak adak cucu keturunannya, yang melakukan hal yang berlebihan baik itu prilaku maupun dalam berpenampilan. Atau lebih tegasnya, jangan bersikap terlalu baik dan berpenampilan terlalu bagus “, kata Puyang Semudik sambil melangkah meninggalkan mereka lalu menuju kekamar tidurnya.

Inilah sekelumit kisah tentang Hikayat Puyang Semudik Pendiri Desa Lubuk Tupak Kecamatan Muara Jaya Kabupaten Ogan Komering Ulu,  yang menitipkan Wasiat buat anak cucu keturunannya   : “ Hiduplah dengan sederhana, jangan berlebihan “.

 

S E K I A N

 

Penulis : Mgs. Aminullah, SH

 

NARA SUMBER :

  1. Bapak HAKI  ( 85 Tahun ) Dusun Lubuk Tupak Kec. Muara Jaya.
  2. Bapak Saman Bin Sujum ( 82 Tahun ) Dusun Muara Saeh kec. Muara Jaya.
  3. Bapak H.M. Isa ( 72 Tahun ) Kebun Jeruk Baturaja.
  4. Bapak Sobirin ( 70 Tahun ) Dusun Lubuk Tupak Kec. Muara Jaya.
  5. Bapak Husni Thamrin ( 65 Tahun ) Saung Naga Baturaja.
  6. Bapak Joni Ramadhan, SS, M.PJ ( 32 Tahun ) Kebun Jeruk Baturaja.